Perjanjian Gaib dengan Nyai Plencing

SUBUR SUSENO
Karena terbelit kesulitan hidup, orang bisa saja melakukan perjanjian gaib dengan Nyai Plencing, dhanyang Bukit Pangrantunan, Gunung Sindoro. Lantas, apa konsekwensinya…?
Soma duduk melamun di balai-balai bambu reot miliknya yang telah lapuk termakan waktu. Matanya menerawang jauh, menembus segerumbulan pohon bambu yang membentengi rumah biliknya yang sebagian sudah bolong-bolong akibat lapuk dimakan waktu. Angin sore yang dingin menerpa badannya yang kurus telanjang dada.
Pikiran Soma terus memutar, mencari peruntungan yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk mengisi perut istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ia tak pernah menyangka kalau hidupnya akan mengalami keterpurukan seperti ini. Harapannya untuk hidup serba kecukupan, rasanya kini tak mungkin bisa diraihnya.
“Kau tak usah berkecil hati, Soma! Semua serba mungkin. Jangan putus asa dalam menjalani kehidupan ini. Akulah yang akan membantumu.”
Suara itu menyentakkan Soma dari lamunan. Ia terkejut ketika dilihatnya seorang nenek tiba-tiba sudah berada di depannya. Nenek itu terkekeh sembari menatap wajah Soma yang masih bengong dan heran.
“Dari mana asal nenek ini? Mengapa tiba-tiba ia sudah berada di hadapanku?” batin Soma.
“Aku sudah tahu apa yang sedang kau pikirkan. Jadi, tak perlu kamu menjelaskannya lagi padaku,” kata si nenek lagi. “Namaku Nyai Plencing, penunggu dan penguasa istana bukit keramat yang sering disebut dengan nama Dalem Pangrantunan yang berada di atas bukit Gunung Sindoro.”
Mendengar nama Dalem Pangrantunan, Soma kembali tersentak. Pasalnya, ia sudah sering mendengar cerita tentang tempat ini, baik dari teman-teman dan tetangga, maupun sumber media yang banyak mengungkap mistis serta keangkeran istana bukit keramat tersebut. Tapi ia sendiri belum tau dimana letak persisnya Dalem Pangrantunan itu.
“Maaf, ada maksud apakah gerangan yang menuntun langkau Nyai datang ke gubuk saya ini?” tanya Soma, berusaha memberanikan diri.
“Tujuan kedatanganku hanya untuk membantumu, Soma. Bangsaku di atas bukit Sindoro merasa gerah melihat penderitaan serta kesengsaraan yang kamu alami selama ini. Kau tak perlu mendatangi tempatku, karena akulah yang berkunjung ke sini. tak semua orang mendapat kesempatan seperti ini, Soma. Bahkan yang sengaja datang ke tempatku saja, belum tentu bisa terkabul keinginannya, apalagi untuk bisa bertemu denganku,” papar si nenek yang menyebut dirinya dengan nama Nyai Plencing. Dialah penguasa bukit keramat Gunung Sindoro, sebuah tempat perburuan pesugihan.
Soma kembali diam. Tak banyak yang bisa diucapkannya. Dengan sudut matanya ia melihat orang tua yang ada didepannya itu membawa sebuah bungkusan kain hitam di tangannya. Ia sendiri belum tahu apa isinya.
“Perlu aku ingatkan, Soma! Kau ini tinggal dan bernaung di bawah kaki Gunung Sindoro, dimana terdapat Istana Keramat Dalem Pangrantunan tempatku berkuasa. Dengan penderitaan yang kamu alami, membuat semua wargaku akhir-akhir ini merasa gerah dan panas, sehingga aku berkewajiban untuk meredam keadaan ini,” tutur si nenek lagi.
Rupanya, penderitaan dan kemiskinan Soma telah mengusik ketenangan masyarakat krajiman (para jin_Red) yang tinggal di Gunung Sindoro, atau persisnya di Istana Keramat Dalem Pangrantunan. Dengan kesengsaraan Soma yang kerap menahan perutnya yang kosong karena tak ada sesuatu yang bisa dimakan, membuat para dhanyang di wilayah tersebut merasa gerah dan panas, sehingga Nyai Plencing berusaha untuk meredam suasana itu.
“Soma, suasana di Dalem Pangrantunan selalu bergolak karena suhu di sana begitu panas. Para pengikutku tak bisa hidup dengan nyaman seperti dulu, akibat penderitaan yang kamu alami. Oleh karena itu, aku lebih baik memberimu harta-benda demi kekayaan keluargamu. Dengan harta ini aku harapkan kau bisa hidup bahagia, sehingga tidak membuat masyarakatku menjadi gerah akibat keprihatinan dirimu. Ini, terimalah kantong yang aku bawa. Isinya bisa untuk memperbaiki kehidupanmu. Tapi ingat, suatu saat nanti jika sudah waktunya, aku akan menjemputmu untuk hidup dan tinggal di tempatku,” ucap Nyai Plencing sembari menyodorkan kantong kain hitam yang berada ditangannya.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Soma. Sedikit ragu, ia menerima bungkusan kain hitam tersebut.
akhirnya sebuah pukulan sorban dengan kekuatan ilahi yang begitu keras tepat mengenai kepala Nyai Plencing. Dan seketika itu pula jeritan panjang keluar dari mulut iblis tua yang menyerupai nenek-nenek itu. Dia terpuruk, tapi masih sempat mengeluarkan kata-kata ancaman.
“Terima kasih, Nyai!” cetusnya sambil tertunduk.
Dalam waktu sekejap, nenek telah lenyap dari hadapan Soma. Seketika itu pula, ayah dua orang anak ini pergi dengan tergopoh-gopoh, masuk ke dalam rumahnya. Ia langsung menemui Lasmi, istrinya, yang sedang merebus singkong untuk mengganjal perut mereka yang seharian kosong.
“Ada apa, Kang? Kok seperti orang yang ketakutan?” tanya sang isteri.
“I…i…ini, Jeng! Kantong ini. Tadi ada nenek-nenek yang datang menemuiku dan memberikan kantong kain hitam ini,” jawab Soma agak terbata-bata.
Sambil menatap suaminya, Lasmi kembali bertanya, “Kira-kira apa yang isinya, Kang!”
“Sama-sama kita buka saja ya, Jeng!” ujar Soma.
Dengan tangan gemetar, Soma membuka kantong kain hitam itu. Astaga, ternyata isinya adalah ikatan-ikatan uang yang tak terhitung jumlahnya. Pasangan suami isteri ini benar-benar terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Maklum saja, sepanjang hidupnya mereka berlum pernah melihat gepokan uang satu kantong penuh dalam jumlah yang sangat banyak, tentunya.
“Mas, apakah kita tidak sedang bermimpi?” bibir Lasmi bergetar.
“Kau tidak sedang bermimpi, Lasmi! Ini nyata. Kita akan segera kaya. Kau lihat, dengan uang ini kita bisa membeli apa saja,” Soma merengkuh tubuh isterinya. Merekapun saling berpelukan erat.
Syhahdan, sejak saat itu kehidupan Soma berubah drastis. Lambat laun ia menjadi orang kaya dan terpandang di desanya. Bahkan tak ada satu orangpun yang melebihi kekayaannya. Dengan uang pemberian Nyai Plencing itu ia sudah membuka berbagai macam usaha. Ia telah memiliki beberapa penggilingan padi, losmen serta perkebunan teh di daerahnya. Hampir semua masyarakat memanggilnya dengan sebutan Juragan atau Bos Besar.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, keseharian Soma yang semula hidup dengan penuh kesengsaraan itu sudah berubah. Ia mulai hidup dengan gelimang kemewahan.
Tak terasa, sepuluh tahun sudah Soma terbuai oleh kemewahannya. Seiring dengan itu, ia pun mulai dihantui kecemasan dengan ucapan Nyai Plencing beberapa tahun yang lalu saat menemuinya. Sering dirinya merenung akan nasibnya bila nanti Nyai Plencing sungguh-sungguh akan menjemputnya dan membawanya ke alam gaib.
Soma memutar otak bagaimana agar bisa lolos dari bayangan Nyai Plencing yang seolah selalu mengikuti kehidupannya itu. Apa lagi dengan janjinya, bahwa suatu saat nanti akan membawa dirinya untuk menjadi penghuni alamnya.
Setelah berpikir sekian waktu lamanya, Soma akhirnya teringat pada Kyai Abdul Yaskur, guru mengajinya dulu saat masih tinggal di sebuah pesantren di wilayah Wonosobo. Ia merasa yakin bahwa sang Kyai akan bisa membantu memecahkan persoalan dihadapinya.
Suatu sore, Soma berangkat menuju pondok pesantren Kyai Abdul Yaskur. Setelah tiga Jam menempuh perjalanan, ia sampai ke tempat yang dituju. Di hadapan Kyai Abdul Yaskur ia menceritakan semua kisah kehidupannya hingga akhirnya bisa bertemu dengan sosok Nyai Plencing, yang telah meminjamkan sejumlah kekayaan kepadanya.
“Subhanallah, jadi kau telah tergoda oleh harta pemberian iblis penghuni Bukit Pangrantunan itu?” tanya Kyai Abdul Yaskur.
Soma mengangguk pelan. Ludah yang ditelannya terasa amat getir.
“Naudzubillahi mindzalik! Itu dosa besar, Soma. Apalagi nyawa yang dia minta sebagai tebusan atas harta yang telah diberikannya kepadamu,” tandas Kyai Yaskur.
“Saya ingin bertobat, Pak Kyai! Tapi apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi masalah ini? Semua sudah terlanjur. Saya takut sekali. Apalagi akhir-akhir ini sosok wanita iblis itu seolah terus membayangiku” Soma tak tahan menahan linangan air matanya.
“Mungkin waktumu dengan Iblis itu memang sudah semakin mendekat, Soma!” ujar Kyai Abdul Yaskur dengan nada dingin.
Tangis Soma semakin terdengar pedih dan panic. Ingatannya dibayangi oleh kenyataan yang sangat mengerikan. Terlebih lagi, beberapa waktu yang lalu sosok tua Nyai Plencing muncul di hadapannya. Kali ini Nyai Plencing menanyakan kesediaannya untuk ikut ke alamnya, yaitu Alam Siluman Pangrantunan, tempat manusia menerima segala konsekwensi atas kerjasama gaibnya, sebelum mereka mengalami kematian yang sesungguhnya. Dengan kata lain, Pangrantunan adalah alam para dhanyang dan lelembut serta roh jahat yang berkolaborasi dengan manusia. Di alam inilah para manusia sesat akan menerima siksaan.
Soma juga tak bisa membohongi dirinya, bahwa sewaktu ia hendak berangkat menemui Kyai Abdul Yaskur, Nyai Plencing telah mendatanginya, meski itu hanya lewat mimpi. Tapi Soma yakin bahwa mimpi itu adalah perttanda sangat buruk bagi dirinya.
“Soma, sudah saatnya kamu ikut denganku. Ini bulan Suro, waktu yang tepat untuk dirimu memasuki alamku, Alam Pangrantunan yang pernah kita sepakati waktu itu.” ucap sosok tersebut.
Soma lalu terjaga dari tidurnya dengan keringat bercucuran. Terbayang dalam benaknya suatu kehidupan alam dimensi lain dengan suasana yang sangat mencekam.
“Apakah tidak ada lagi pintu tobat untuk orang-orang seperti saya, Pak Kyai?” tanya Soma sambil menyusut air matanya.
“Sekarang kau bertaubatlah dengan sungguh-sungguh. Tinggalah untuk beberapa hari di sini. Selanjutnya kau jalani puasa sunah dan syarat lain selama satu minggu. Apa kau sanggup, Soma?” kata Kyai Abdul Yaskur.
Soma mengangguk dan bersedia menerima segala perintah sang Kyai. Sejak hari itu Soma tinggal di pesantren Kyai Abdul Yaskur. Pada siang hari ia menjalani puasa sunah, sedang malamnya harus melakukan tapa kungkum (merendam badan) di sebuah sendang yang berada di belakang pondok tersebut.
Singkat cerita, tepat pada malam ketujuh, peristiwa yang tak terduga terjadi. Saat Soma sedang menjalani tapa kungkum menjelang tengah malam, tiba-tiba datang embusan angin yang begitu keras. Selang beberapa detik kemudian, disusul dengan suara tawa dari seorang wanita tua yang sudah begitu dikenal oleh Soma. Dialah Nyai Plencing. Kemunculan sosok inilah yang seketika membuat soma takut dan sangat terkejut.
“Kenapa kau ingin menghindar dariku, Soma?” suara Nyai Plencing terdengar menakutkan. “Ingat, kemanapun kau lari tetap akan aku cari. Kau telah mengingkari janjimu, Soma!”
“Soma tidak mengingkarinya, dia adalah anak muridku. Jadi aku berhak untuk mendidik serta melindunginya,” ucap Kyai Abdul Yaskur yang tiba-tiba telah berada di samping Soma.
“Kau tak usah ikut campur orang tua, ini adalah urusanku soal hutang budinya padaku!”
“Dia tidak memiliki hutang budi padamu, karena Soma tak pernah memintanya. Harta itu kau berikan hanya untuk menyelamatkan bangsamu dari hawa panas akibat keprihatinan seseorang. Oleh karena itu, kau tak layak untuk meminta tebusan atau tumbal atas semua yang terjadi. Toh bangsamu kini telah terbebas dari penderitaan rasa panas itu. Sekarang pulang dan jangan ganggu anak ini lagi! Kalau tidak, akan aku musnahkan dirimu,” tukas Kyai Yaskur gurunya.
Tapi, rupa-rupanya Nyai Plencing tak mau meninggalkan tempat tersebut. Ia justru menyerang Kyai Abdul Yaskur. Dengan beringas, tongkat yang berada di tangan kanannya memburu Kyai Yaskur, hingga laki-laki tua itu sedikit terdesak. Lalu sang Kyai menepisnya dengan sorban yang sedari tadi membelit di lehernya.
Pertempuran itu terjadi hingga hampir setengah jam lamanya. Situasi ditempat tersebut berantakan. Namun akhirnya sebuah pukulan sorban dengan kekuatan ilahi yang begitu keras tepat mengenai kepala Nyai Plencing. Dan seketika itu pula jeritan panjang keluar dari mulut iblis tua yang menyerupai nenek-nenek itu. Dia terpuruk, tapi masih sempat mengeluarkan kata-kata ancaman.
“Ingat Soma dan kau kyai tua! Kali ini kalian bisa lolos dariku. Tapi dendamku tak hanya sampai di sini. Aku akan terus mencari dan menjerumuskan anak keturunanmu di Bukit Pangrantunan, tempatnya para iblis mempermainkan manusia.” ucapnya dengan suara sember yang terdengar lantang.
Kyai Abdul Yaskur menatap tajam kepergian sosok Nyai Plencing dengan mata tuanya. Ia pun tersenyum tipis.
Mungkin, sejak saat itulah iblis di Bukit Pangrantunan semakin beringas dalam mencari tumbal, dan tak pernah lagi memberi toleransi kepada manusia yang mencoba untuk laku ngalap berkah di tempatnya. Alasannya adalah karena ia tak mau lagi tertipu serta dipermainkan oleh manusia seperti halnya Soma.
“Nah, sekarang kau bebas dari cengkraman iblis wanita tua yang bernama Nyai Plencing itu. Besok kamu boleh pulang dan jangan lupa, bawalah perbekalan yang bisa membentengi dirimu serta keluargamu agar iblis seperti Nyai Plencing itu tak berani lagi datang mengganggu kehidupanmu. Besok aku siapkan semua saranya,” tutur Kyai Yaskur….
Demikialah kisah nyata yang dialami oleh Soma (nama samaran). Dari kisah ini kita setidaknya dapat memetik hikmah, bahwa jangan sekali-kali kita tergiur oleh harta-benda bangsa iblis. Tentu saja resiko serta tebusannya begitu mahal. Lebih baik jalani kehidupan seadanya saja, dan hendaknya kita selalu berusaha dengan maksimal sesuai kemampuan. Dengan doa dan kerja keras kita, insya Allah suatu saat nanti Tuhan akan membukakan pintu rezeki dan rahmatnya kepada kita selaku hambanya yang sabar dan bertawakal. Amin ya robbal alamiiin…!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)

Pelet Lewat Tatapan Mata