NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

Mawan Suganda

Di pulau ini terdapat benteng pertahanan tentara Jepang ketika Perang Dunia II. Mungkin karena itulah rumors keberadaan harta karun Jepang kemudian santer berembus dari pulau yang terletak di Selat Sunda ini….
Pulau yang satu ini berada di Selat Sunda, lebih tepatnya di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Serang, Banten. Kalau dari Kota Serang, bisa menggunakan bus atau kendaraan pribadi menuju Cilegon, kemudian dilanjutkan ke Anyer dan berhenti di kawasan Pantai Manuk di Desa Cikenong. Dari Pantai Manuk, perjalanan dilanjutkan langsung ke Pulau Sangiang dengan menggunakan kapal atau perahu motor. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke pulau ini sekitar 1 jam perjalanan. Sangat tergantung besar kecilnya ombak laut.
Kini, Pulau Sangiang menjadi salah satu obyek wisata menarik di Banten. Lepas dari pesona alamnya yang sangat indah, sesungguhnya sudah sejak lama pulau ini diburu orang. Mereka beranggapan bahwa di pulau kecil ini tersimpan harta karun peninggalan Jepang dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi nyatanya hal ini hanya merupakan isapan jempol belaka. Buktinya, tak pernah ada yang kaya mendadak sepulang dari pulau tersebut.
Salah satu pelaku perburuan harta karun tersebut adalah Dirun, warga Karawang, Jawa Barat. Ia menyimpan pengalaman yang sungguh mengenaskan. Pada saat melakukan ritual di pulau ini. Ia nyaris mati karena kehadirannya tak disukai oleh penunggu pulau Sangiang yang disebutnya dengan nama Nyi Gede Goa Sanghyang.
Kisah nyata ini terjadi beberapa waktu yang lalu. Ketika itu Dirun ingin sekali dapat mengubah nasibnya secara sim salabim. Untuk mencapai cita-citanya ia telah mencoba bardoa selama dua bulan terus-menerus. Tetapi doa yang ia panjatkan tidak dikabulkan, karena rizki memang harus dicari melalui lahir dan batin. Walhasil hidupnya tetap begitu-begitu saja alias tetap melarat. Dan karena wawasan keagamaan Dirun sangatlah minim, maka ia pun lantas menganggap bahwa doanya tergantung di awang-awang.
Ia pun tidak mau lagi berdoa. Menurut hematnya, nasihat-nasihat dari para ajengan (ustadz/kyhai) yang selalu saja mengatakan agar dirinya bersabar dalam menghadapi hidup yang penuh cobaan, tak lebih hanyalah sekedar pelipur duka. Karenanya, untuk mengubah nasibnya secepat mungkin, Dirun bertekad hendak mencari jalan dengan caranya sendiri.
Untuk tujuan tersebut, kemudian Dirun pergi mengembara sampai ke Serang dan Cilegon. Dari tempat-tempat inilah ia mendengar bahwa banyak orang yang mencoba mencari harta karun Jepang di pulau Sangiang. Rumor itu menyebutkan bahwa di dalam sebuah goa yang penuh dengan misteri, terpendam lantakan harta. Namun ia juga mendengar, ada beberapa orang di antara para pemburu harta itu yang hilang di daerah tersebut.
Ketika itu, Dirun memasang dua kemungkinan yang menurut pemikirannya bisa ia peroleh. Disamping ingin membuktikan kebenaran cerita tentang harta karun Jepang yang menghebohkan dan syukur-syukur bisa mengambilnya, ia juga ingin mencari jalan agar bisa memperoleh nomor toto gelap (Togel) yang ketika itu memang sedang mewabah.
Demam harta karun Jepang, memang telah melanda nafsu manusia-manusia yang ingin mengejar harta, tahta dan wanita. Padahal Jepang sendiri yang telah menjajah Indonesia tenang-tenang saja dengan berbagai industri besarnya. Mereka merasa tidak pernah menyimpan apa pun di goa-goa yang dihebohkan banyak orang itu.
Akhirnya Dirun memutuskan ikut menumpang perahu layar pengangkut pisang ke pulau Sangiang. Dari jauh, pulau yang dalam pandangannya seperti gudang harta yang tak terhitung nilainya itu diperhatikannya. Sekonyong-konyong ia teringat pada kisah Alibaba yang pernah didengarnya di masa kecil, yang mendapat harta di dalam goa. Ia pun berharap bisa seperti tokoh yang ada dalam kisah 1001 malam itu.
“Apa tujuan sebenarnya datang kemari?” tanya Karim kepada Dirun sesampainya di Pulau Sangiang. Karim adalah sebagai ketua dari orang yang menetap di pulau itu. Ia sering didatangi orang-orang bermaksud aneh seperti Dirun. Ada yang berlagak seperti turis, ada yang berlagak seperti pemancing ikan dengan peralatan modern, dan masih banyak lagi bentuk lagak lainya. Tetapi, ujung-ujungnya mereka semua minta diantarkan ke tempat yang disebut sebagai Goa Sangiang.
“Saya mau beruzlah (mengasingkan diri) saja ke tempat yang sunyi, untuk mencari ketenangan hati,” jawab Dirun sambil tersenyum kecil penuh muslihat. Seolah-olah ia telah melihat tumpukan emas serta permata di hadapannya. Ia kemudian minta diantarkan ke tepi goa yang puncaknya paling tinggi. Dinding batunya yang kemerah-merahan menambah keyakinannya, bahwa di dalamnya tersimpan logam yang bersemu merah juga alias emas.
Ombak menghantam tebing, bunyinya terdengar nyaring berdentum-dentum disertai angin barat yang dingin. Matahari mulai terbenam diiringi warna merah kekuningan, laksana lelehan tembaga di langit sana. Laut dan langit tampak semakin samar dalam pandangan. Akhirnya hutan pun menyatu dengan gelapnya sang malam.
Sementara itu, Dirun seorang diri menghadap ke arah goa dengan ketenangan bak arca pada stupa candi. Belum pernah ia bisa setenang seperti sekarang ini. Meskipun begitu, sesungguhnya hati kecil Dirun bergelora bagaikan ombak di hadapannya.
Mulut Dirun komat-kamit seolah-olah memanggil sesuatu. Di dekatnya, sebuah dupa kecil berisi asap kemenyan putih dan setanggi, meliuk-liuk di putar angin dan buyar di atas kepalanya. Tiba-tiba ia mendengar bunyi asing yang mirip suara ombak namun sangat beraturan menerpa dinding goa. Bersamaan dengan itu tempat duduknya terasa bergoyang. Beberapa saat berselang bunyi aneh itu berhenti tak jauh dari hadapannya diiringi suara seperti pohon besar tumbang.
Perlahan-lahan Dirun membuka matanya. Tampak di hadapannya sesuatu seperti bentuk dua pohon besar. Padahal ia merasa yakin bahwa tadi tidak melihatnya. Pohon ini hitam berbulu, seperti dililit pohon gadung berduri. Tetapi yang sangat aneh, batang pohon itu berbentuk seperti telapak kaki yang amat besar. Kedua ibu jarinya sebesar drum minyak tanah, lengkap dengan kukunya yanmg terjorok ke hidung Dirun.
Dengan sangat penasaran, Dirun menengadah ke atas. Mata makhluk itu sebesar buah kelapa dan mencorong memandanginya. Napasnya hampir menyamai desau ombak yang menjalar di atas pasir pantai. Dirun tergagap-gagap, dan beberapa kali ia melenguh pilu.
“Ampun…aku…aku…hanya ingin harta dan nomor togel…!” geragap Dirun, sambil tertelentang ke belakang.
Kini, semakin jelas di matanya bahwa makhluk sedemikian besar itu berjenis kelamin perempuan. Kedua buah dadanya yang luar biasa besarnya, ikut bergetar dengan gerakan napasnya yang turun naik. Dalam kepanikannya yang luar biasa, Dirun tiba-tiba ingin menjadi seperti seorang bayi. Ia ingin bersembunyi di antara kedua buah dada yang amat besar itu. Di sana mungkin bisa menjadi tempat yang paling aman dari mimpi buruk dan ganguan nyamuk.
Keinginan Dirun menjadi kenyataan. Kini dada berbuah besar itu turun menghimpit tubuhnya. Napasnya terasa pengap oleh dua benda empuk berbentuk seperti dua tangki minyak yang ditimpakan kepadanya. Panas tetapi pengap, membuat ia susah bernapas. Dan akhirnya, kedua buah dada raksaksa yang berbau daun pandan dan daun serai itu mengakibatkan sekujur tubuh Dirun menggelinjang kelemasan.
Diiringi dengan tawa yang panjang, barulah kepengapan itu terangkat dari tubuh Dirun. Sejurus kemudian terdengar derap langkah setapak demi setapak semakin jauh. Sulit dibedakan lagi, mana bunyi ombak dan mana pula bunyi langkah makhluk tinggi besar berjenis kelamin perempuan itu.
Dirun buru-buru bangkit, dan dengan sebuah obor ia segera berlari menuju gubuk warga pulau itu.
Semula orang-orang merasa enggan membukakan pintu untuk Dirun. Bukan saja takut akan suara Dirun yang memecah kesunyian, tetapi juga menghindari nyamuk ganas yang menanti mereka bila berani keluar kelambu.
“Tolong…tolong, aku hampir lemas ditindihnya,” lenguh Dirun ketika ia tiba di depan beranda pondok bambu. Tiga orang dalam gelap dengan pakaian kumal mengelilingi Dirun.
“Ada apa?” tanya Karim.
“Besar…besar sekali,” sahut Dirun sambil mengacungkan telapak tangannya ke atas kepala, untuk menunjukkan betapa besarnya sosok misterius yang baru saja dilihatnya. Orang-orang pun saling berpandangan.
“Mungkin dia lagi yang marah….” ujar Karim dengan suara seperti menggumam.
“Siapa…siapa dia?” tanya Dirun dengan napas tersengal-sengal.
“Nyi Gede Goa Sanghyang…” jawab Karim perlahan sekali, seperti takut didengar orang lain selain mereka yang ada di dalam pondok. “Dia selalu begitu, kalau orang datang dengan maksud yang tidak disukainya. Kami sendiri belum pernah berjumpa dengannya. Hanya terkadang saja bunyi langkah kakinya terdengar tak begitu jauh dari pondok.”
Dirun melongo dengan wajah kosong. Sungguh ia tidak menyangka bahwa ada makhluk gaib berjenis kelamin perempuan sedemikian besarnya. Penuh dengan kegairahan yang merangsang, tetapi amat menakutkan dan penuh ancaman. Kini ia ingin segera bisa keluar secepatnya dari pulau Sangiang yang menakutkan ini.
Esok harinya Dirun dijangkiti penyakit demam. Menurut Karim, ketua kelompok orang yang tinggal menetap, setiap orang yang mendatangi pulau Sangiang, jika tidak sakit di pulau itu tentu akan sakit setelah keluar pulau.
“Aku berharap jangan ada lagi sesuatu yang keji menimpa pulau ini. Aku masih sabar dan tidak membunuhnya. Kalau aku mau, bisa saja kutindih mereka sampai lemas, kemudian mati kehabisan napas!” demikian ceracau Dirun, ketika sedang demam tinggi.
“Maafkan kami, Nyai Gede. Kami tidak tahu apa yang hendak dimintanya kepada Nyai Gede,” jawab Karim yang telah terbiasa berdialog dengan orang kesurupan.
Mata Dirun mendelik-delik, seperti melihat makhluk yang sangat mengerikan.
“Siapa yang sanggup kawin denganku, baru ia dapat menguasai dan memperoleh harta di pulau ini,” ucap Nyai Gede melelui mulut Dirun, diiringi tawanya yang berkumandang sampai di luar gubuk mereka. Anehnya, tawa itu bagai bersahut-sahutan sampai ke pedalaman yang ada rawa lebarnya. Suara itu seperti mempunyai kekuatan gaib pengiring di luar sana.
Dalam keadaan masih sakit, Dirun dibawa Karim dan dua kawannya menuju Merak. Dan karena waktu datang sudah tidak mempunyai uang sesenpun, maka ia dibaringkan saja di atas tumpukan tandan pisang di atas perahu layar mereka.
Dalam perjalanan pulang, mulut Dirun masih terus mengoceh. Dan dalam suatu kesempatan, ia pernah hendak bunuh diri dengan cara mencebur ke laut. Untung Karim dan teman-temannya segera mengetahui, sehingga niatnya untuk bunuh diri bisa dicegah.
Mengapa Dirun ingin bunuh diri? Karena ia merasa sangat malu! Ia ingat janjinya kepada Suti, isterinya, bahwa akan membuat kejutan kepada tetangga dan orang sekampungnya dengan tiba-tiba menjadi orang yang kaya. Tetapi nyatanya, kini ia akan pulang dengan tangan hampa, bahkan dalam keadaan lebih parah. Karena itu menurut hematnya, lebih baik mati saja ketimbang mendapat malu dan cemoohan.
Dua hari kemudian, sampai juga Dirun di rumahnya, di daerah Karawang. Dan orang-orang sekampungnya menjadi ramai karena ia belum sembuh juga dari mengocehnya. Terkadang ia mengoceh tentang emas bertumpuk-tumpuk di dalam goa, terkadang tentang perempuan cantik dengan dada montok yang menggairahkan, tetapi berbahaya untuk ditiduri.
Demikianlah pengalaman nyata Dirun beberapa waktu yang lau, semoga dapat diambil hikmahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)

Pelet Lewat Tatapan Mata