Dijadikan Calon Tumbal Pesugihan

GOENAWAN WE; 
Ini adalah kisah nyata yang kualami 9 tahun lalu. Ceritanya berawal ketika aku diterima bekerja sebagai sopir pribadi di rumah Pak Simon. Pria keturunan Tionghoa ini tinggal di sebuah perumahan elite di Jakarta. Meskipun rumahnya besar, namun Pak Simon hanya tinggal di rumah ini seorang diri. Entah dimana keluarganya tinggal. Sepertinya, ini memang misteri tersendiri.Pekerjaan sebagai sopir pribadi sebenarnya tidak tepat dengan status dan pendidikanku di bidang Teknik Industri. Namun aku terima saja daripada terus-terusan menganggur. Maklumlah, untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan di zaman sekarang ini bukanlah hal yang mudah. Karena itulah, meski pun menjadi seorang sopir kujalani saja dengan penuh keikhlasan, yang penting pekerjaan itu halal.
Selama bekerja pada Pak Simon, aku sama sekali belum pernah mengenal keluarganya. Sudah kukatan, pria paruh baya ini hidup seorang diri. Aku hanya berpikir, siapa tahu keluarganya tinggal di kota lain. Aku tidak berani menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, yang mungkin akan menyinggung perasaannya.
Umur Pak Simon kuperkirakan lima puluh tahun lebih. Meskipun sekilas terkesan dingin, namun ia sangat baik sekali padaku. Selain gaji, ia juga memberikan uang makan serta transport.
Pekerjaan yang kujalani tidaklah begitu berat. Aku hanya ditugaskan menyetir mobil apabila ia akan berpergian jauh ke luar kota. Sudah barang tentu itu pun tidak setiap hari. Sepertinya ia telah mempunyai jadwal tertentu.



Semula aku tak ambil pusing dengan semua yang dikerjakannya. Terkadang aku sering heran dan merasa aneh. Selama bekerja, tempat-tempat yang menjadi tujuannya selalu menyeramkan dan terbilang angker. Jauh dari keramaian, seperti berada di pinggiran gunung atau di tengah hutan belantara. Tuan rumah yang dikunjungi adalah orang-orang yang serba misterius, seperti dukun atau paranormal.
Hingga sampai suatu hari, ia menugaskanku untuk mengantarnya ke suatu tempat di Jawa Timur. Kami memasuki areal pemakaman yang amat sunyi dan menyeramkan. Kucoba memberanikan diri bertanya pada majikanku mengenai tujuannya datang ke tempat itu. Jawabannya enteng saja, bahwa ia akan mencari orang pintar.
Setelah mendapat jawaban singkat itu, aku hanya diam saja, dan tidak berani untuk melanjutkan pertanyaan. Malah ia sendiri yang berbicara dan balik bertanya padaku, mungkin aku mempunyai informasi yang dapat membantunya mencarikan orang pintar.
Hatiku terkesiap, dan secepatnya mengucap istighfar menyebut nama Allah, agar aku dijauhkan dari perbuatan yang dibenci olehNya. Lagi pula aku berpikir, kalau menghadapi orang yang sedang dalam kegelapan sebaiknya berusaha untuk menyadarkannya.
Kembali ia bertanya ketika melihat aku terdiam dan belum menjawab pertanyaannya tadi. Aku tersentak kaget dan berusaha menguasai perasaan. Aku dengan gugup menjawab, bahwa aku sama sekali tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu. Kemudian kembali aku bertanya padanya, sebenarnya untuk apa dia sampai repot-repot mencari dukun? Katanya, tujuan dirinya mencari dukun karena ingin membalas rasa sakit hatinya pada seseorang. Entah siapa yang dimaksud ’seseorang’ itu. Aku tak ingin mengetahuinya.
Dalam hatiku berkecamuk seribu perasaan. Aku terheran-heran, orang yang berpenampilan intelek seperti Pak Simon masih percaya pada hal-hal klenik dan berbau gaib.
Tanpa kusadari, tiba-tiba aku melontarkan suatu pertanyaan pada majikanku, kalau ia masih mempercayai adanya kekuatan atau kepercayaan ’mistik’.
Pak Simon sepertinya merasa tersindir dengan pertanyaanku. Terlihat ia cuma tersenyum kecut, entah malu atau marah padaku.

Namun, tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu hal mistis yang terjadi padaku. Seluruh bagian tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kendaran yang kukemudikan semakin jauh memasuki areal pemakaman. Hujan mulai turun dengan derasnya, sehingga mengaburkan pandanganku, karena kaca mobil tertutup kabut tebal. Lolongan anjing hutan menambah keseraman suasana malam itu. Kulihat arloji di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul 21.00.
Sekitar satu jam kemudian, kami sampai ke tempat tujuan. Majikanku seolah hafal betul tempat itu dan mungkin bukan pertama kalinya ia datang. Suatu tempat yang menyerupai gubuk kecil dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Pak Simon meminta agar aku menunggu saja di dalam mobil. Perkataannya kusambut dengan lega, karena memang aku sudah merasa letih. Aku hanya sanggup menganggukkan kepala. Padahal kalau boleh jujur, sebenarnya aku merasa takut ditinggal sendirian di mobil menunggu di tengah hutan yang gelap.
Hampir dua jam lamanya aku menunggu Pak Simon. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mencoba memejamkan mata, tetapi amat sulit. Terkadang aku malah tersiksa dengan bayangan menakutkan yang seolah-olah siap menyergapku. Beberapa kali kucoba untuk menguasai diri dengan membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Alhamdulillah, akhirnya perasaanku menjadi tenang dan menyerahkan segalanya pada Allah.
Selesai dari kunjungannya, Pak Simon langsung mengajakku pulang ke Jakarta. Walaupun tubuh terasa remuk redam, kupaksakan juga menuruti keinginannya. Sampai di Jakarta kira-kira menjelang sore, aku minta izin pada majikanku untuk menumpang tiduran sebentar di rumahnya karena aku terlalu letih dan mengantuk. Pak Simon tidak menolaknya.
Aneh, saat aku merebahkan tubuhku di atas sofa ruang tamu, majikanku malah menyuruhku tidur di dalam kamar. Tentu saja tawarannya kutolak, karena aku merasa kurang pantas. Masa seorang sopir harus tidur di kamar. Apalagi itu kamar tidur majikannya.

Pak Simon terus memaksaku. Entah apa alasannya, aku disuruh tidur di kamar pribadinya. Beberapa kali ia memaksaku. Mau tidak mau, walau pun terasa agak canggung, aku menurut saja.
Tak terasa aku tertidur lelap. Entah berapa lama aku tertidur pulas di kamar majikanku. Saat terjaga, betapa kagetnya aku. Saat kuraba tubuhku terasa panas sekali, lalu berubah dingin. Lama kelamaan tubuhku semakin menggigil. Aku pikir, mungkin aku kelelahan atau juga masuk angin.
Kucoba bangkit dari tidurku, karena rasanya ingin ke kamar kecil. Aku kencing di situ. Aduh, sakit sekali. Lalu kulihat darah. Ya, darah yang keluar dari alat vitalku. Aku kaget setengah mati. Masya Allah! Apakah aku sudah menderita suatu penyakit? Ah, kupikir tidak. Aku sama sekali belum pernah menderita sakit seperti ini. Maka aku pun memaksakan diri untuk segera pulang ke rumah, karena takut merepotkan Pak Simon.
Keluargaku amat kaget melihat kedatanganku dalam keadaan sedemikian rupa. Terutama istriku yang tak kuasa menahan tangis melihat kondisiku seperti itu. Ia menangis sambil berteriak-teriak, menanyakan sebab musabab hingga membuatku demikian mengenaskan. Sementara perasaanku saat itu terasa lemah sekali. Pandanganku mulai kabur dan di ujung senja terasa gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Perlahan-lahan aku membuka mata. Aku mulai sadar kembali. Aku dikerumuni semua keluargaku. Keningku terasa dingin terkena kompresan air. Seorang lelaki setengah tua mengusap-usap kepalaku sambil membacakan sesuatu. Sayup-sayup kudengar seorang wanita memanggil namaku.
”Mas Herdin, istighfar, Mas! Sebut nama-Nya, Mas!” katanya seraya mengguncang-guncang tubuhku.
Ternyata suara itu suara istriku, Fitri. Saat kesadaranku benar-benar pulih aku mencoba bertanya padanya, ”Ada apa? Kenapa orang-orang pada kumpul di sini?”
Rupanya dalam keadaan tak sadar, aku didatangi seorang perempuan tua berambut panjang memutih dan mencoba menarik-narik lenganku, agar mau diajaknya pergi ke alam mahkluk halus. Ajakan nenek berwajah mengerikan itu langsung kutolak mentah-mentah. Aku berusaha memberontak melepaskan diri dari cengkeraman perempuan tua itu. Aku terlepas ketika tiba-tiba saja datang seberkas sinar putih menyambar tubuh nenek tua itu hingga tubuh ringkihnya terkapar, kemudian lenyap.

Fitri menceritakan, saat aku baru datang di rumah, keadaanku seperti orang gila. Mulutku terus meracau tak menentu serta bergulingan di tanah tanpa mengenakan pakaian, sehingga keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhku. Katanya aku seperti orang yang sedang sekarat, hingga akhirnya pingsan tak sadarkan diri.
Untunglah istriku dengan cepat memanggil salah seorang kiai. Kiai Ahmad Basir memberikan aku segelas air putih yang telah dibacakan doa-doa mustajab untuk diminum. Alhamdulillah, aku merasakan tubuhku pulih kembali seperti semula.
Hampir seminggu aku terbaring di rumah karena masih merasakan sakit dan lemah di seluruh tubuhku. Setelah benar-benar kondisi kesehatanku telah pulih, Aku bermaksud masuk kerja kembali. Sebenarnya aku kecewa sekali pada Pak Simon yang sama sekali tak mau tahu keadaanku. Tapi apa boleh buat. Lantaran kewajiban, maka aku berangkat menuju rumahnya.
Betapa kagetnya ketika aku sampai di rumah Pak Simon. Di sana sudah banyak orang berkumpul. Dengan penuh tanda tanya, aku mencoba bertanya pada salah seorang di antara mereka. Saat mendengar jawaban orang itu, bumi yang kupijak terasa berputar, kepalaku mendadak pusing dan hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Ternyata majikanku sudah meninggal dunia. Innalillahi wa inna illaihi rajiun…
Kuceritakan kejadian itu pada keluargaku. Kebetulan Kiai Ahmad Basir yang menyembuhkan diriku masih berada di rumahku. Ia hanya tersenyum arif, sambil berucap, ”Innalillahi wa innaillaihi rajiun… Aku juga pernah mengalami peristiwa sepertimu, Nak. Seluruh bagian tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kamu beruntung, Nak Herdin, bukan kamu yang meninggal. Sebenarnya kamulah yang dituju, untuk dijadikan tumbal. Peristiwa seperti ini biasa disebut dengan senjata makan tuan namanya,” kata Kiai Ahmad Basir, dengan suara lembut penuh wibawa.
Aku juga mendengar kabar bahwa almarhum Pak Simon meninggal dunia akibat menjadi tumbal mahkluk halus yang bersekutu dengannya. Pak Simon seorang manusia yang selalu mencari kekayaan dengan jalan sesat. Wallahua’lam. Pantas saja satu persatu keluarganya mati akibat menjadi tumbal kekayaannya, pikirku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)

Pelet Lewat Tatapan Mata