Mayat Kembali Pulang

MAWAN SUGANDA
Karena kekuatan Ilmu Karang masih bersarang di dalam tubuhnya, maka bumi menolaknya. Jenazahnya selalu pulang sejak hari pertama dikuburkan. Selanjutnya, apa yang terjadi…?

GARA-GARA ILMU SESAT,
SANG MAYAT KEMBALI PULANG

Kisah ini dituturkan langsung oleh seorang dokter kepada Histeri. Sebut saja nama sang dokter adalah dr. Joko. Ia berkisah, beberapa puluh tahun silam, ketika ia baru beberapa lama menyelesaikan sekolahnya di SMA, tiba-tiba cobaan yang tak pernah ada dalam bayangannya datang mengempas. Ayahnya, sebut saja namanya Pak Wongso, mendadak jatuh sakit, hingga akhirnya berakhir dengan kematiannya. Dari kematian sang ayah inilah kemudian menimbulkan berbagai keanehan yang sudah barang tentu sulit diterima akal sehat.
Diceritakan, pada saat jenazah sang ayah siap dimakamkan, sebuah peristiwa musykil tiba-tiba saja terjadi. Hari itu, pemakaman Wongso sempat tertunda hampir dua jam lamanya. Pasalnya, lubang kubur yang telah disediakan terus-menerus mengeluarkan air dan selalu berlumpur. Padahal, saat itu sedang musim kemarau. Sudah lama tidak turun hujan. Lalu kenapa lubang kubur Wongso selalu tergenang air? Pertanyaan inilah yang sulit dijawab.
Dengan bantuan mesin pemompa air, liang lahat itu memang bisa dikeringkan, meskipun masih cukup berlumpur. Namun celakanya, saat jasad Wongso akan dimasukkan ke liang lahat, kembali suatu keanehan terjadi. Lubang kubur itu berubah mengecil dibandingkan ukuran tubuh Wongso. Padahal, sebelumnya sudah diukur oleh para penggali kubur dengan seksama, bahkan dilonggarkan beberapa puluh centimeter.
Karena kenyataanya memang demikian, terpaksa para penggali kubur memperpanjang liang lahat tersebut. Anehnya, meskipun sudah dipanjangkan dan dilebarkan hampir setengah meter, tetap saja tubuh Wongso tidak bisa dimasukkan. Entah liang lahatnya yang mengecil, enah juga karena jenazah yang memanjang.
Joko yang menyaksikan peristiwa itu hanya terpaku dan diam. Ia benar-benar disuguhi kenyataan yang tak masuk akal. Sungguh ia tidak mengerti, kenapa semua itu bisa sampai terjadi terhadap jenazah ayahnya.
Sementara itu, warga kampung yang ikut mengiringi jenazah Wongso, mulai berbisik-bisikan. Joko tidak tahu apa yang mereka bisikkan. Namun ia merasa kalau keanehan ini terjadi, karena ada sesuatu yang sama sekali tidak diketahui tentang ayahnya. Sesuatu yang membuat seolah-olah bumi tidak mau menerima jasadnya.
Tanpa berpikir panjang lagi Joko meminta agar jasad ayahnya tetap harus dikuburkan, meskipun harus menekuk bagian kaki. Memang pada akhirnya ayahnya bisa dikuburkan juga, meski tentu saja tidak layak.
Sampai semua orang yang mengantar kepergian jenazah Wongso ke tempat peristirahatannya yang terakhir sudah pulang, Joko masih mematung memandangi makam yang masih merah tanahnya itu. Ia baru beranjak pergi, setelah Kyai Mansyur menepuk pundaknya dan mengajaknya pulang. Sungguh Joko tidak tahu kalau orang tua itu ternyata terus mengawasi dan menungguinya dengan sabar. Padahal, orang-orang lainnya tampak ketakutan dengan beberapa keganjilan yang berlangsung saat prosesi pemakaman.
“Pak Kyai, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa pemakaman ayahku tidak sempurna seperti ini?” tanya Joko setelah cukup jauh berjalan meninggalkan areal pemakaman itu.
“Bukan pemakamannya yang tidak sempurna. Tapi ada sesuatu rahasia yang disimpan ayahmu sampai akhir hayatnya,” jelas Kyai Mansyur.
“Rahasia apa, Pak Kyai?” desak Joko, penasaran.
“Aku sudah kenal ayahmu sejak kami sama-sama muda. Bahkan aku dan ayahmu satu laskar ketika berjuang mengusir penjajah. Bukan hanya aku saja yang mengenal betul tentang ayahmu. Tapi banyak orang tua di kampung ini yang mengenalnya juga,” papar Pak Kyai.
Saat itu, Kyai Manyur tidak langsung memberikan jawaban. Sepertinya memang ada suatu rahasia yang teramat penting, yang disimpan ayah Joko hingga ajal datang menjemputnya.
Sampai di rumah, Joko langsung menemui ibunya yang masih dirundung duka. Sedikit pun Joko tidak menceritakan apa yang terjadi di pemakaman tadi.
Malamnya, sesuai dengan adat di perkampungan itu, di rumah almarhum Wongso ramai dipenuhi orang-orang yang bertahlil dan mengaji untuk kesempurnaan pemakamannya. Sebagian besar yang datang adalah para pekerja peternakan dan perkebunan milik almarhum Pak Wongso.
Satu persatu Joko memperhatikan wajah-wajah mereka. Sesekali dia menatap wajah Kyai Mansyur, yang memimpin acara pengajian dan pembacaan tahlil itu. Meskipun mereka melakukannya dengan khusyuk, tapi Joko menangkap ada guratan kecemasan dan ketakutan yang terpendam. Hal itu semakin jelas terlihat ketika acara pengajian selesai dilaksanakan, mereka semua langsung bergegas pulang. Hanya Kyai Mansyur yang kelihatan tetap tenang dan tidak beranjak dari tempat duduknya. Joko mendekati orang tua itu dan duduk di sampingnya.
“Sesuatu akan terjadi malam ini. Dan kuharap kau bisa menerimanya dengan tabah,” kata Kyai Mansyur tiba-tiba dengan suara pelan dan seperti menyimpan keterpaksaan.
“Maksud Pak Kyai…?” tanya Joko bergetar.
“Ayahmu…dia akan kembali lagi ke rumah ini.”
“Kembali lagi…?” Joko benar-benar tak percaya.
Kyai Mansyur diam membisu dan menepuk-nepuk pundak Joko. Beberapa saat kemudian sekitar sepuluh orang murid Kyai Mansyur yang berusia sebaya dengan Joko, berdatangan. Tanpa diperintah lagi mereka langsung duduk bersila dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Suasana terasa begitu mencekam.
Detik-detik berlalu terasa lambat. Tanpa dapat dicegah, Joko terlilit gelisah yang luar biasa. Tiba-tiba saja mereka semua dikejutkan oleh terdengarnya suara gedebug yang begitu keras, seperti benda besar yang jatuh dari ketinggian. Secara refleks, berbarengan mereka bangkit dari tempat duduk masing-masing. Tapi, tidak ada seorang pun yang bergerak ke luar. Baru setelah Kyai Mansyur melangkah ke luar, bergegas Joko dan murid-murinya mengikuti dari belakang.
“Oh, tidak…”
Seketika itu juga Joko mendesis tidak percaya. Kedua bola matanya membeliak lebar, melihat sosok yang tebungkus kain kafan menggeletak di tengah-tengah halaman rumah. Sekujur tubuh Joko bergetar, dan kakinya terpaku di ambang pintu menyaksikan keganjilan tersebut. Saat itu pandangan matanya menjadi berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berdenyut-denyut.
Sekujur tubuhnya pun mendadak lemas, seperti kehilangan seluruh tenaga. Namun dia mencoba untuk tetap kuat dan menyaksikan bagaimana Kyai memerintahkan murid-muridnya untuk membawa masuk jenazah ayahnya yang kembali pulang dalam keadaan utuh, dan masih terbungkus kafan.
Joko sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, terus berdiri terpaku diam di ambang pintu, meskipun jasad ayahnya sudah terbaring di tengah-tengah ruangan depan yang besar. Murid-murid Kyai Mansyur mengelilingi dan kembali melantunkan ayat-ayat suci dengan suara pelan dan merdu. Kyai Mansyur sendiri berdiri di samping Joko, sambil memegangi pundaknya dengan tangannya yang terasa sejuk.
Keesokan harinya jasad Wongso kembali dimakamkan oleh murid Kyai Mansyur. Kali ini tidak ada seorang pun penduduk dan tetangganya yang ikut mengantar. Mereka semua tahu, tapi hanya memandang saja dari depan rumahnya masing-masing.
Joko sendiri jadi tidak tidak sanggup untuk menatap wajah orang-orang itu. Peristiwa ini benar-benar membuat dia malu dan jiwanya teguncang hebat. Bahkan ibunya sampai tidak mau ke luar dari kamarnya.
Pemakaman Wongso kedua kalinya belangsung cepat. Mereka kembali pulang dan melakukan pengajian. Saat itu, beberapa orang tetangga mulai berdatangan dan ikut dalam pengajian. Semakin siang, semakin banyak saja yang datang. Bahkan ibu-ibunya mulai sibuk di dapur untuk memasak. Karena ibunya tidak mau ke luar dari kamar, terpaksa segala sesuatunya Joko yang menangani.
“Pak Kyai, apakah mereka semua sudah tahu penyebab ayahku jadi seperti ini…?” bisik Joko pada Kyai Mansyur.
“Mari ikut aku…” ajak Kyai Mansyur sambil bangkit berdiri.
Kyai Mansyur membawa Joko ke luar dari rumah dan terus berjalan menjauhi keramaian itu. Sampai di sebuah bangku bambu yang ada di bawah pohon mangga yang terletak di halaman rumahnya yang luas, mereka duduk di sana.
“Dulu aku dan ayahmu sama-sama belajar dan menuntut ilmu di sebuah pesantren di daerah Banten. Pada waktu itu negeri ini masih dikuasai penjajah. Banyak yang gugur ketika itu. Bahkan guru kami ikut tewas. Beruntung sekali aku dan ayahmu bisa meloloskan diri, masuk ke dalam hutan dan menunggu keadaan mereda. Setelah ke luar dari dalam hutan, kami langsung bergabung dengan tentara rakyat. Kami berjuang dengan cara bergerilya dan tidak pernah menetap lama pada suatu tempat.
Setiap kami masuk ke suatu daerah, ayahmu tidak pernah mebuang-buang kesempatan untuk mencari guru dan belajar ilmu sambil terus berjuang. Begitu rajinnya dia menuntut berbagai ilmu, membuatnya menjadi tangguh di medan perang dan sangat ditakuti, baik oleh lawan maupun oleh kawan sendiri.
Bahkan komandan kami begitu segan padanya, sehingga tidak pernah memberi perintah seperti yang biasa dilakukan pada bawahan lainnya. Kalau pun ingin memberi perintah, pasti dilakukannya dengan sopan dan diawali dengan kata minta tolong. Setelah negeri ini merdeka kami kembali ke kampung halaman.
Sungguh tidak disangka sama sekali kalau nama ayahmu begitu tersohor. Sehingga begitu kami pulang, semua penduduk langsung menyambutnya seperti menyambut seorang raja. Bahkan kepala kampung langsung memberi ayahmu tanah kebun yang begitu luas serta sawah dan rumah yang besar, bekas tuan tanah yang lari karena takut oleh kekejamannya sendiri.
Ayahmu langsung hidup dalam kemewahan, sedangkan aku mendirikan sebuah pesantren. Meskipun begitu, persahabatanku dengan ayahmu tetap berjalan baik. Bahkan tidak jarang ayahmu membantu pesantrenku dan menurunkan ilmu-ilmunya pada murid-murid yang mondok di pesantrenku itu. Tapi, ada satu ilmu yang memang kularang untuk diturunkan. Dan ayahmu juga mengerti, hingga tidak mau menurunkan ilmunya yang satu itu kepada murid-muridku. Ilmu itu adalah Ilmu Karang,” papar Kyai Mansyur panjang lebar.
“Ilmu karang…?” Joko mendesis dengan kening berkerut.
“Sebuah ilmu yang bisa membuat tubuh seseorang yang menguasainya jadi kebal terhadap segala macam jenis senjata yang ada di dunia. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulit tubuhnya. Karena ayahmu telah menguasai betul ilmu itu, membuat peluru Belanda tidak pernah ada yang bisa menyentuh badannya. Bahkan waktu itu di laskar rakyat, dia selalu bertempur paling depan. Tidak pernah bersembunyi meskipun tubuhnya dihujani peluru. Bahkan mortir sekalipun tidak mampu menghancurkan tubuhnya,” jelas Kyai Mansyur.
“Lantas kenapa Pak Kyai melarang ayah mengajarkan ilmu itu?”
“Karena, meskipun ilmu itu bisa digunakan untuk jalan kebaikan, tetapi sesungguhnya bertentangan dengan ajaran dan keyakinan kita sebagai umat beragama. Maka, tetap saja orang yang menguasai ilmu itu akan menderita, terutama sekali setelah ajal menjemputnya. Baik langit maupun bumi tidak mau menerima jasad dan rohnya. Itu sebabnya, kenapa ayahmu semalam kembali pulang, karena alam kubur tidak mau menerimanya, sebelum ilmu karang itu dibuang dari jasadnya.”
“Kalau begitu, tolong sempurnakanlah almarhum ayah saya, Pak Kyai.”
“Tidak semudah itu, Nak. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya mencabut Ilmu Karang itu dari tubuhnya. Sayang..ayahmu tidak sempat memberi tahu rahasia menghilangkan Ilmu Karang-nya itu…”
“Pak Kyai, apakah ayahku akan tetap begitu selamanya?”
“Aku tidak tahu. Tapi sebaiknya kamu terus berdoa dan memohon pada Yang Maha Kuasa, agar kematian ayahmu bisa sempurna.”
Joko tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kini dia mengerti sudah persoalannya. Hanya karena sebuah ilmu, jasad dan roh ayahnya tidak bisa diterima oleh bumi dan langit. Ilmu Karang yang dimiliki ayahnya tampaknya sudah bukan rahasia lagi bagi seluruh penduduk di kampung ini. Ironisnya, sebagai darah dagingnya, Joko justru tidak tahu sama sekali.
Pada malam kedua setelah kematiannya, kembali jasad Wongso pulang dengan cara yang sama. Keanehan ini terus terjadi pada malam-malam selanjutnya. Walaupun sudah dimakamkan lagi, tapi mayat Wongso kembali pulang secara gaib. Sungguh menyeramkan.
Pada malam ketujuh semenjak kematian Wongso, tiba-tiba saja hujan turun lebat disertai dengan ledakan guntur dan petir yang menyambar-nyambar di angkasa. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil jasad Wongso yang menggeletak di tengah-tengah halaman. Begitu derasnya hujan turun membuat tanah di halaman tergenang air.
Saat itu Joko hanya bisa memandanginya dengan hati perih dan berbagai macam perasaan berkecamuk menjadi satu. Ia ingin mengambil jasad ayahnya, tapi sebelum niat itu terlaksana, Kyai Mansyur mencegahnya. Bahkan dia memeluknya begitu kuat sekali.
Sedikit demi sedikit air yang menggenang itu semakin tinggi. Jasad Wongso mulai bergerak-gerak terbawa air. Dan, terus terbawa hanyut seperti sebatang pohon pisang yang tidak berguna. Tanpa terasa air mata Joko menitik perih.
Didampingi Kyai Mansyur dan murud-muridnya serta puluhan penduduk, Joko mengikuti kemana jasad ayahnya hanyut terbawa air. Mereka terus mengikuti sampai ke sungai yang airnya sudah meluap tinggi. Akhirnya jasad Wongso terus hanyut sampai ke laut hingga tertelan ombak yang ganas. Joko terus memandangi dengan air mata bercucuran.
“Semoga laut dapat menerima jasad ayahmu,” desah Kyai Mansyur lirih.
Memang, sejak malam itu mayat Wongso tidak pernah kembali lagi. Dan pengajian di rumahnya terus berlangsung sampai empat puluh hari lamanya. Meskipun jelas jasad ayahnya terbawa ke tengah laut, tapi Joko tetap merawat makamnya.
Untuk menghilangkan kepedihan hatinya, terpaksa Joko meyerahkan pengelolaan ternak ayam serta perkebunan pada pamannya, adik kandung ibunya, yang semula bekerja sebagai mandor perkebunan. Sedangkan Joko sendiri pergi ke kota untuk melanjutkan cita-citanya yang sempat tertunda.
Joko memang berhasil menyelesaikan kuliahnya sampai mendapat gelar dokter. Dan, ia baru kembali ke kampung halamannya setelah mempersunting seorang gadis yang kini menyandang status sebagai isterinya.
Joko memang tidak mau membuka praktek di kota. Ia sengaja kembali ke kampung halaman untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di daerahnya. Juga, sambil merawat ibunya yang semakin renta di makan usia.
Sampai Joko menuturkan kisah ini, baik isteri dan anak-anaknya tidak ada yang tahu rahasia pedih yang dialami oleh almarhum ayahnya. Semua penduduk di kampung ini juga tidak pernah ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, seolah mereka sudah melupakannya.
Di akhir penuturannya, Joko berharap semoga peristiwa yang pernah dialami ayahnya tidak pernah lagi dialami oleh anak manusia lainnya. Ya, semoga saja demikian adanya….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

Perjanjian Gaib dengan Nyai Plencing

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)