Ibnu Khafif Sufi Besar Yang Pernah Menikah 400 Kali
Badruzzaman Al-Jawiy (Mawan Suganda)
Menurut riwayat, ia pernah mengunjungi Mesir dan Asia Kecil. Ibnu Khafif yang juga pernah menulis beberapa buah buku, meninggal dunia dalam usia lanjut di kota kelahirannya pada tahun 371 H/982 M.
Dikisahkan, ketika masih muda, ia ingin sekali pergi ke Tanah Suci untuk melakukan ibadah haji. Waktu tiba di kota Baghdad, kepalanya masih penuh dengan kecongkakan sehingga ia tidak mau menemui Junayd Al-Baghdadi (seorang Wali Qutub/pemimpin para wali yang sangat terkenal). Ia terus saja berjalan sambil membawa seutas tali dan sebuah ember.
Saat telah berada jauh di tengah padang pasir, Ibnu Khafif merasa sangat dahaga. Untunglah di kejauhan tampak sebuah telaga dan seekor rusa yang sedang minum. Begita tiba di tempat tersebut, tiba-tiba telaga menjadi kering, semua airnya terserap habis ke dalam bumi.
Menyaksikan kejadian ini Ibnu Khafif berseru, “Ya Allah, apakah Abdullah lebih hina dari seekor rusa?”
“Rusa itu tidak membawa tali dan timba, ia berpasrah diri sepenuhnya kepada Kami,” terdengar jawaban tanpa wujud.
Dengan hati gembira, tali dan ember langsung dibuang, kemudian ia melanjutkan perjalanan.
“Abdullah, Kami hanya mengujimu, ternyata engkau tabah. Oleh karena itu, kembalilah dan minumlah air telaga tadi,” lagi-lagi terdengar suara tanpa wujud.
Ibnu Khafif pun kembali ke tempat semula dan didapatkannya air telaga itu telah penuh seperti semula. Ia segera bersuci dan minum, setelah itu berangkat lagi. Di sepanjang perjalanan ke Madinah, ia tak pernah batal dari wudhu yang dilakukan di telaga tadi.
Pada suatu hari, tepatnya hari Jum’at, Ibnu Khafif berada kembali di Baghdad. Ketika ia berada di masjid, Junayd Al-Baghdadi melihatnya dan berkata, “Seandainya dulu engkau benar-benar bersabar, niscaya air akan menyembur sendiri dari bawah kakimu.”
Pada suatu hari pelayannya menyajikan delapan buah kismis kepadanya. Ibnu Khafif tidak menyadari hal ini dan menghabiskannya.
Tetapi akibatnya, ia tidak mendapatkan kepuasan di dalam ibadahnya kepada Allah SWT, tidak seperti yang dialaminya setiap malam. Maka kemudian dipanggilnyalah si pelayan untuk dimintai keterangan, tentang makanan yang telah disajikannya.
“Aku telah memberikan delapan buah kismis kepadamu,” si pelayan mengaku.
“Mengapa engkau melakukan itu?” tanya Ibnu Khafif.
“Karena kulihat engkau sangat lemah dan aku merasa kasihan. Aku ingin, engkau memperoleh kekuatan.”
“Dengan berbuat demikian, engkau bukanlah sahabatku melainkan musuhku. Jika engkau memang sahabatku, niscaya akan memberikan enam buah kismis kepadaku, bukan delapan.”
Si pelayan itu lalu dipecatnya dan digantikan dengan yang baru.
Dalam hal meminta nasehat dari orang-orang suci, Ibnu Khafif pun dikenal sangat gigih. Dikisahkan, pada suatu hari ia mendengar bahwa di negeri Mesir ada seorang tua dan seorang pemuda yang secara terus menerus melakukan meditasi. Karena sangat tertarik maka berangkatlah ia ke sana, dan berhasil bertemu dengan orang yang dicarinya.
Kedua orang itu tampak tengah menunduk dengan posisi tubuh menghadap ke arah kota Makkah. Ibnu Khafif pun mengucapkan salam, namun hingga berkali-kali mereka tetap membungkam.
“Demi Allah, jawablah salamku!” Ibnu Khafif berseru kepada mereka.
“Ibnu Khafif, dunia ini adalah kecil, dan dari dunia yang kecil ini hanya sedikit yang masih tersisa. Dari sisa yang sedikit ini, ambillah bagianmu yang sebesar-besarnya. Engkau telah membuang banyak waktu dengan mengucapkan salam kepada kami,” jawab si pemuda sambil mengangkat kepalanya.
Setelah berkata demikian, si pemuda kembali menundukkan kepalanya tanpa menghiraukan tamunya. Mendapati kenyataan yang mengagumkan ini, rasa lapar dan dahaga Ibnu Khafif seketika menjadi hilang. Ia tidak beranjak dari tempat itu.
“Berilah aku nasehat,” pinta Ibnu Khafif setelah cukup lama berada di tempat ini.
“Ibnu Khafif, kami berdua adalah manusia-manusia yang berduka. Kami tidak mempunyai lidah untuk memberikan nasehat. Orang lainlah yang harus memberikan nasehat kepada orang-orang yang berduka,” lagi-lagi si pemuda yang menjawab.
Ibnu Khafif belum berputus asa. Ia terus bertahan di tempat itu selama tiga hari, dan selama itu pula tidak makan, minum maupun tidur.
“Apakah yang harus kulakukan agar mereka mau memberikan petuah kepadaku?” tanya Ibnu Khafif di dalam hati.
Tiba-tiba si pemuda mengangkat kepalanya dan berkata, “Temuilah seseorang yang apabila memandangnya engkau akan teringat kepada Allah SWT, dan karena terpesona kepadanya hatimu akan terjaga, yaitu seorang yang akan memberi nasehat melalui perbuatan, bukan melalui kata-kata.”
“Kemanakah hendak kucari seorang wanita tengah malam seperti ini? Tetapi aku mempunyai seorang puteri. Jika Anda mengizinkan, aku akan pergi menjemputnya,” kata si pelayan.
“Pergilah dan bawa puterimu itu kemari”
Si pelayan membawa puterinya dan pada saat itu juga Ibnu Khafif langsung menikahinya. Tujuh bulan kemudian, lahirlah seorang bayi, tetapi tidak berapa lama meninggal dunia.
“Suruhlah puterimu itu meminta cerai dariku. Atau kalau dia suka, boleh tetap menjadi isteriku!” kata Ibnu Khafif kepada si pelayan atau mertuanya pada suatu hari.
“Tuan, apakah rahasia di balik semua ini?” si pelayan bertanya keheranan.
“Pada malam pernikahan itu, aku bermimpi bahwa hari berbangkit (kiamat) telah tiba. Banyak orang yang berdiri kebingungan, sementara keringat melimpah sampai ke leher mereka.
Tiba-tiba muncul seorang anak meraih tangan ayah bundanya, dan dengan kecepatan bagaikan angin dibimbingnya mereka melewati jembatan yang terbentang di antara surga dan neraka. Oleh karena itulah aku ingin mempunyai seorang anak. Ketika anakku lahir dan kemudian meninggal dunia, maka tercapailah sudah keinginanku itu,” jelas Ibnu Khafif.
Orang-orang mengatakan bahwa sejak itu Ibnu Khafif sering menikah. Menurut keterangan, ia telah menikah sebanyak empat ratus kali. Karena ia keturunan bangsawan, maka ketika ia bertaubat dan mencapai kesalehan yang sempurna, banyaklah wanita yang mengajukan diri untuk dilamarnya.
Diriwayatkan, dalam waktu yang bersamaan terkadang ia beristeri dua atau tiga orang. Salah seorang di antara isterinya adalah puteri wazir yang sangat cantik, yang mendampinginya selama kurun waktu empat puluh tahun.
Kepada isteri-isterinya ini, beberapa orang pernah bertanya tentang bagaimana sikap Ibnu Khafif terhadap mereka secara pribadi.
“Tidak sesuatu pun yang kami ketahui mengenai dirinya. Kalau di antara kami ada juga yang mengetahui, tentulah ia itu puteri wazir,” jawab mereka.
Maka bertanyalah mereka kepada puteri wazir, dan mendapat jawaban sebagai berikut, “Apabila kuketahui bahwa Syech hendak berkunjung ke kamarku di malam hari, maka kupersiapkan makanan yang lezat-lezat. Kemudian aku berdandan. Ketika ia datang dan melihat apa yang aku lakukan, aku pun dipanggil dan dipandanginya beberapa saat lamanya. Kemudian untuk beberapa saat pula dipandangnya makanan yang telah kusiapkan itu.”
Pada suatu malam, lanjut puteri wazir, Ibnu Khafif menarik dan melapis tangannya dengan lengan bajunya, kemudian diusapkannya ke perutnya. Terabalah oleh puteri wazir lima buah simpul di antara dada dan pusarnya. Ketika ditanyakan simpul-simpul apakah itu, Syech menjawab bahwa simpul-simpul tersebut adalah gejolak-gejolak ketabahan yang telah disimpulkan satu persatu agar dapat bertahan terhadap kejelitaan dan makanan lezat yang telah dihidangkan kepadanya. Setelah itu beliau pergi meninggalkan puteri wazir.
“Itulah satu-satunya hubungan intim di antara kami. Alangkah kokoh disiplin diri Ibnu Khafif suamiku,” jelas sang puteri wazir.
Nah, sahabat Histeri yang budiman, dari kisah ini kita bisa mendapatkan kesimpulan bahwa Ibnu khafif melakukan banyak pernikahan, bukan karena hendak memanjakan hawa nafsunya terhadap kaum wanita. Tetapi, beliau ingin mengambil sebanyak-banyaknya berbagai keutamaan yang terdapat di dalam pernikahan.
Disarikan dari sumber terpilih
Dalam waktu yang bersamaan terkadang ia beristeri dua atau tiga orang wanita. Salah seorang di antara isterinya adalah putri wazir yang sangat cantik, yang mendampinginya selama empat puluh tahun….Abu Abdullah Muhammad bin Khafif lahir di Syiraz tahun 270 H/882 M. Dia adalah seorang tokoh suci di Persia, dan berasal dari keluarga bangsawan. Setelah mendapat pengetahuan yang luas, Ibnu Khafif berangkat ke Baghdad dan di kota ini ia bertemu dengan Al-Hallaj serta tokoh-tokoh sufi lainnya.
Menurut riwayat, ia pernah mengunjungi Mesir dan Asia Kecil. Ibnu Khafif yang juga pernah menulis beberapa buah buku, meninggal dunia dalam usia lanjut di kota kelahirannya pada tahun 371 H/982 M.
Dikisahkan, ketika masih muda, ia ingin sekali pergi ke Tanah Suci untuk melakukan ibadah haji. Waktu tiba di kota Baghdad, kepalanya masih penuh dengan kecongkakan sehingga ia tidak mau menemui Junayd Al-Baghdadi (seorang Wali Qutub/pemimpin para wali yang sangat terkenal). Ia terus saja berjalan sambil membawa seutas tali dan sebuah ember.
Saat telah berada jauh di tengah padang pasir, Ibnu Khafif merasa sangat dahaga. Untunglah di kejauhan tampak sebuah telaga dan seekor rusa yang sedang minum. Begita tiba di tempat tersebut, tiba-tiba telaga menjadi kering, semua airnya terserap habis ke dalam bumi.
Menyaksikan kejadian ini Ibnu Khafif berseru, “Ya Allah, apakah Abdullah lebih hina dari seekor rusa?”
“Rusa itu tidak membawa tali dan timba, ia berpasrah diri sepenuhnya kepada Kami,” terdengar jawaban tanpa wujud.
Dengan hati gembira, tali dan ember langsung dibuang, kemudian ia melanjutkan perjalanan.
“Abdullah, Kami hanya mengujimu, ternyata engkau tabah. Oleh karena itu, kembalilah dan minumlah air telaga tadi,” lagi-lagi terdengar suara tanpa wujud.
Ibnu Khafif pun kembali ke tempat semula dan didapatkannya air telaga itu telah penuh seperti semula. Ia segera bersuci dan minum, setelah itu berangkat lagi. Di sepanjang perjalanan ke Madinah, ia tak pernah batal dari wudhu yang dilakukan di telaga tadi.
Pada suatu hari, tepatnya hari Jum’at, Ibnu Khafif berada kembali di Baghdad. Ketika ia berada di masjid, Junayd Al-Baghdadi melihatnya dan berkata, “Seandainya dulu engkau benar-benar bersabar, niscaya air akan menyembur sendiri dari bawah kakimu.”
Pribadi Yang Zuhud dan Disiplin
Ibnu Khafif, salah seorang tokoh sufi dan wali Allah yang dikenal sangat ketat dalam melakukan disiplin diri. Dikisahkan, setiap malam ia hanya memakan tujuh buah kismis kecil untuk berbuka puasa, tak lebih dari itu.Pada suatu hari pelayannya menyajikan delapan buah kismis kepadanya. Ibnu Khafif tidak menyadari hal ini dan menghabiskannya.
Tetapi akibatnya, ia tidak mendapatkan kepuasan di dalam ibadahnya kepada Allah SWT, tidak seperti yang dialaminya setiap malam. Maka kemudian dipanggilnyalah si pelayan untuk dimintai keterangan, tentang makanan yang telah disajikannya.
“Aku telah memberikan delapan buah kismis kepadamu,” si pelayan mengaku.
“Mengapa engkau melakukan itu?” tanya Ibnu Khafif.
“Karena kulihat engkau sangat lemah dan aku merasa kasihan. Aku ingin, engkau memperoleh kekuatan.”
“Dengan berbuat demikian, engkau bukanlah sahabatku melainkan musuhku. Jika engkau memang sahabatku, niscaya akan memberikan enam buah kismis kepadaku, bukan delapan.”
Si pelayan itu lalu dipecatnya dan digantikan dengan yang baru.
Dalam hal meminta nasehat dari orang-orang suci, Ibnu Khafif pun dikenal sangat gigih. Dikisahkan, pada suatu hari ia mendengar bahwa di negeri Mesir ada seorang tua dan seorang pemuda yang secara terus menerus melakukan meditasi. Karena sangat tertarik maka berangkatlah ia ke sana, dan berhasil bertemu dengan orang yang dicarinya.
Kedua orang itu tampak tengah menunduk dengan posisi tubuh menghadap ke arah kota Makkah. Ibnu Khafif pun mengucapkan salam, namun hingga berkali-kali mereka tetap membungkam.
“Demi Allah, jawablah salamku!” Ibnu Khafif berseru kepada mereka.
“Ibnu Khafif, dunia ini adalah kecil, dan dari dunia yang kecil ini hanya sedikit yang masih tersisa. Dari sisa yang sedikit ini, ambillah bagianmu yang sebesar-besarnya. Engkau telah membuang banyak waktu dengan mengucapkan salam kepada kami,” jawab si pemuda sambil mengangkat kepalanya.
Setelah berkata demikian, si pemuda kembali menundukkan kepalanya tanpa menghiraukan tamunya. Mendapati kenyataan yang mengagumkan ini, rasa lapar dan dahaga Ibnu Khafif seketika menjadi hilang. Ia tidak beranjak dari tempat itu.
“Berilah aku nasehat,” pinta Ibnu Khafif setelah cukup lama berada di tempat ini.
“Ibnu Khafif, kami berdua adalah manusia-manusia yang berduka. Kami tidak mempunyai lidah untuk memberikan nasehat. Orang lainlah yang harus memberikan nasehat kepada orang-orang yang berduka,” lagi-lagi si pemuda yang menjawab.
Ibnu Khafif belum berputus asa. Ia terus bertahan di tempat itu selama tiga hari, dan selama itu pula tidak makan, minum maupun tidur.
“Apakah yang harus kulakukan agar mereka mau memberikan petuah kepadaku?” tanya Ibnu Khafif di dalam hati.
Tiba-tiba si pemuda mengangkat kepalanya dan berkata, “Temuilah seseorang yang apabila memandangnya engkau akan teringat kepada Allah SWT, dan karena terpesona kepadanya hatimu akan terjaga, yaitu seorang yang akan memberi nasehat melalui perbuatan, bukan melalui kata-kata.”
Ibnu Khafif dan Para Istrinya
Diceritakan, pada suatu malam Ibnu Khafif memanggil pelayannya lalu berkata, “Carikan seorang wanita untuk kunikahi.”“Kemanakah hendak kucari seorang wanita tengah malam seperti ini? Tetapi aku mempunyai seorang puteri. Jika Anda mengizinkan, aku akan pergi menjemputnya,” kata si pelayan.
“Pergilah dan bawa puterimu itu kemari”
Si pelayan membawa puterinya dan pada saat itu juga Ibnu Khafif langsung menikahinya. Tujuh bulan kemudian, lahirlah seorang bayi, tetapi tidak berapa lama meninggal dunia.
“Suruhlah puterimu itu meminta cerai dariku. Atau kalau dia suka, boleh tetap menjadi isteriku!” kata Ibnu Khafif kepada si pelayan atau mertuanya pada suatu hari.
“Tuan, apakah rahasia di balik semua ini?” si pelayan bertanya keheranan.
“Pada malam pernikahan itu, aku bermimpi bahwa hari berbangkit (kiamat) telah tiba. Banyak orang yang berdiri kebingungan, sementara keringat melimpah sampai ke leher mereka.
Tiba-tiba muncul seorang anak meraih tangan ayah bundanya, dan dengan kecepatan bagaikan angin dibimbingnya mereka melewati jembatan yang terbentang di antara surga dan neraka. Oleh karena itulah aku ingin mempunyai seorang anak. Ketika anakku lahir dan kemudian meninggal dunia, maka tercapailah sudah keinginanku itu,” jelas Ibnu Khafif.
Orang-orang mengatakan bahwa sejak itu Ibnu Khafif sering menikah. Menurut keterangan, ia telah menikah sebanyak empat ratus kali. Karena ia keturunan bangsawan, maka ketika ia bertaubat dan mencapai kesalehan yang sempurna, banyaklah wanita yang mengajukan diri untuk dilamarnya.
Diriwayatkan, dalam waktu yang bersamaan terkadang ia beristeri dua atau tiga orang. Salah seorang di antara isterinya adalah puteri wazir yang sangat cantik, yang mendampinginya selama kurun waktu empat puluh tahun.
Kepada isteri-isterinya ini, beberapa orang pernah bertanya tentang bagaimana sikap Ibnu Khafif terhadap mereka secara pribadi.
“Tidak sesuatu pun yang kami ketahui mengenai dirinya. Kalau di antara kami ada juga yang mengetahui, tentulah ia itu puteri wazir,” jawab mereka.
Maka bertanyalah mereka kepada puteri wazir, dan mendapat jawaban sebagai berikut, “Apabila kuketahui bahwa Syech hendak berkunjung ke kamarku di malam hari, maka kupersiapkan makanan yang lezat-lezat. Kemudian aku berdandan. Ketika ia datang dan melihat apa yang aku lakukan, aku pun dipanggil dan dipandanginya beberapa saat lamanya. Kemudian untuk beberapa saat pula dipandangnya makanan yang telah kusiapkan itu.”
Pada suatu malam, lanjut puteri wazir, Ibnu Khafif menarik dan melapis tangannya dengan lengan bajunya, kemudian diusapkannya ke perutnya. Terabalah oleh puteri wazir lima buah simpul di antara dada dan pusarnya. Ketika ditanyakan simpul-simpul apakah itu, Syech menjawab bahwa simpul-simpul tersebut adalah gejolak-gejolak ketabahan yang telah disimpulkan satu persatu agar dapat bertahan terhadap kejelitaan dan makanan lezat yang telah dihidangkan kepadanya. Setelah itu beliau pergi meninggalkan puteri wazir.
“Itulah satu-satunya hubungan intim di antara kami. Alangkah kokoh disiplin diri Ibnu Khafif suamiku,” jelas sang puteri wazir.
Nah, sahabat Histeri yang budiman, dari kisah ini kita bisa mendapatkan kesimpulan bahwa Ibnu khafif melakukan banyak pernikahan, bukan karena hendak memanjakan hawa nafsunya terhadap kaum wanita. Tetapi, beliau ingin mengambil sebanyak-banyaknya berbagai keutamaan yang terdapat di dalam pernikahan.
Disarikan dari sumber terpilih
Komentar