MISTERI HANTU TURIS ASING DI PULAU SIGILING
PUTRI BERLIANA
Mungkin karena pertimbangan prestasi kerja, maka aku dinaikkan jabatan sebagai kepala divisi. Mendengar keputusan naik jabatan, jujur saja, aku senang sekali. Tapi karena tempat jabatan baru ini, maka aku jadi gundah gulana. Pasalnya, aku bakal ditempatkan di daerah angker Pulau Sigiling, satu pulau yang terpencil di Selat Bali, Nusa Tenggara Barat.
"Terima aja Ma, soalnya selain dikasih fasilitas speed boat, Mama juga terima gaji baru, dua kali lipat dari gaji yang lama!" bisik suamiku, Mas Handoko, soal jabatan baruku itu.
Mas Handoko siap mengurus perpindahan sekolah dua anak kami yang masih duduk di kelas satu dan kelas dua SD di Mataram, Andika dan Andini.
Pulau Sigiling di tempuh dengan jarak 60 mil laut dari pulau Senggigih, Lombok Barat. Perjalanan boat Awani Style dari Mataram bisa sampai dalam waktu kurang dari dua jam. Di pulau Sigiling, terdapat multi cottage, baik yang bersifat tradisional maupun yang modern.
Di tengah pulau, ada satu panggung kesenian untuk tontonan para turis. Setiap bulan, ada pertunjukan tari, teater estetik etnik dan wayang Lombok. Di sekitar panggung, bermukim warga suku Sasak yang membuat kerajinan tangan. Hasil kerajinan itu dijual kepada wisatawan mancanegara yang datang, juga dieksport lewat Departemen Perdagangan.
Nah, sebagai pekerja bidang pemasaran barang kerajinan rakyat lewat PT. Anugrah Budikarya, aku sangat menguasai eksport benda kerajinan itu. Sepuluh tahun lamanya aku bekerja di PT. Anugrah Budikarya dan ikut berperan serta aktif dalam memajukan usaha industri kecil rakyat Nusa Tenggara Barat.
Maka karena pengabdian, kesetiaan dan prestasi selama 10 tahun di situ, tak urung Mr. Suwardi Joyohadiningrat, direktur utama perusahaan, memilih aku menduduki jabatan divisi marketing on the spot yang baru dibuka di pulau Sigiling.
Setelah mempertimbangkan matang selama tiga hari, aku akhirnya memutuskan menerima jabatan baru itu. Tanggal 13 November 2001 kami memboyong semua perlengkapan rumah tangga dan menempati rumah baru di Jalan Akasia Raya no. 43 pulau Sigiling.
Hardiman yang sangat matang pengalaman di pulau Sigilling, memberitahukan bahwa rumah baru kami di jalan Akasia 43 itu sangat angker. Dulu pernah ada turis asing asal Zheck, Eropah Timur yang mati karena over dosis, menyuntikkan cocain yang berlebih hingga mulutnya mengeluarkan darah kental lalu meninggal di rumah itu.
Lain lagi, ada pula turis perempuan asal Swedia, Eropah Barat yang mati gantung diri setelah mendengar berita suaminya masuk penjara di Oslo, Norwegia. Setelah diselidiki oleh interpol, ternyata si turis yang gantung diri ada keterkaitan kejahatan dengan suaminya. Untuk menyelamatkan anak-anak turis itu memilih mati.
Dua kejadian ini cukup membuat masyarakat pulau Sigiling mempercayai bahwa ada roh yang hidup dan muncul setiap bulan purnama ke 14 di rumah jalan Akasia 43. Masyarakat percaya karena banyak saksi mata yang mengalami hal itu. Tahun 1998 Ketut Arnawe (34), pekerja Wears Cottage yang letaknya berhadapan dengan rumah Akasia 43, melihat penampakan hantu tanpa badan.
Ketut Arnawe melihat kepala melayang dari dalam rumah ke pohon beringin di samping cottagenya. Tahun 1999 Nyonya Widi Sanusi (46), pemilik restoran Dinner Party yang berada di sebelah utara Akasia 43 juga melihat hantu kepala, yang duduk nongkrong di tangga samping rumah Akasia.
Tahun 2000 lalu, Amir Hamzah asal Padang yang buka rumah makan Rancak di ujung jalan Akasia, bertemu manusia tengkorak yang turun dari genting rumah masuk ke sumur belakang. Tahun 2001, Eyang Ronggur (81) sesepuh pulau Sigiling, manusia pertama yang tinggal di pulau itu, menemukan gadis misterius berambut sepunggung, yang kakinya tidak menginjak tanah. Perempuan itu diyakini Eyang Ronggur sebagai kuntilanak penghuni rumah Akasia 43 yang bakal kami tempati.
Karena cerita-cerita menyeramkan inilah, maka aku takut. Malam tanggal 14 November 2001, memang tidak ada tanda-tanda bahwa rumah kami berpenghuni hantu. Begitu pula pada malam berikutnya, malam 15, 16, 17 dan 18 November 2001, tidak ada tanda-tandas ada yang ganjil di kediaman kami yang termewah di pulau Sigiling itu.
Namun pada malam ke 19 November, pada saat rembulan sedang purnama 14, batinku dikagetkan oleh suara burung hantu yang mengepakkan sayap dan bersuara melengking di genting rumah kami. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 24.00 tengah malam.
Mulanya suara burung aneh itu pelan, lalu mengeras dan makin keras hingga suara seperti suara orang bernyanyi. Tidak lama setelah suara berhenti, ruang dapur kami berbunyi seperti durian runtuh. Jantungku berdetak kencang dan nyaliku tiba-tiba menjadi ciut.
Pada saat bersamaan, tercium bau bunga melati dan kemenyan Arab, sangat lekat dan terasa menempel di lobang hidungku. Sial benar, umpatku. Soalnya, mas Handoko malam itu sedang pergi ke Denpasar dan membawa obat inventarisku untuk membeli bahan baku kerajinan Art Shop milik Made Astani di Kuta.
"Kalau saja mas Handoko ada di rumah, batinku tidak akan menderita ini!" pikiku.
Mau tidak mau, walau anak-anak tidak bisa apa-apa, aku membangunkan mereka di kamar depan. Tapi lagi-lagi aku terkejut. Dua anakku yang tidur sekamar itu, ternyata tidak ada di tempat. Padahal sebelum aku menidurkan mereka dengan nyanyian nina bobo dan cerita-cerita pak Lebai. Artinya kau lihat betul mreka tertidur dan pula di dua ranjang yang berseberangan.
"Oh Tuhan, ke mana anakku?" tanya batinku.
Karena terguncang oleh kasus hilangnya dua anak, maka rasa takut terhadap hantu pun menjadi musnah. Dengan jantung berdebar hebat, aku pergi ke kamar mandi yang ada di dapur. Barangkali saja Andika dan Andini pergi ke kamar mandi. Padahal suara heboh baru saja muncul dari dapur, di mana kamar mandi itu ada.
"Mereka pasti ada di kamar mandi dan lagi buang air bareng-bareng," pintaku, berdoa pada Tuhan.
Alhamdulillah, Tuhan ternyata mengabulkan doaku. Dua anakku itu benar ada di kamar mandi dan mereka buang air bersamaan.
"Ada apa Ma? Mama kok kayak gelagapan begitu?" tanya Andika, sambil memukul pahaku.
"Tidak, mama dengar suara burung aneh di atas sana, setelah itu mama dengar suara sesuatu benda yang jatuh di dapur ini!" terang ku pada Andika dan Andini.
Andika menggeleng. Dia tidak mendengar apa-apa. Jangankan suara benda jatuh, suara burung pun, sama sekali tidak mendengar. Padahal sudah satu jam mereka terbangun karena kepingin pipis.
"Mama mimpi kali?" pancing Andini, samibl terpingkal.
Anak-anakku itu bernyali seperti bapaknya. Mereka salah satu dari sekian banyak orang yang tidak percaya adanya eksistensi hantu. Sementara aku, sama seperti ayahku, adalah orang yang sangat takut pada makhluk-makhluk tak kasad mata termasuk hantu.
Dari kamar mandi, anak-anak kembali masuk ke kamar tidurnya. Sementara aku, duduk di sofa tempat mereka tidur. Malam itu aku tak berani tidur sendiri, bahkan tidak berani masuk ke kamarku lagi. Karena tahu aku takut, Andini dan Andika ngeledekku. Mereka bilang aku seperti bayi. Bayi yang takut melihat mata boneka yang melotot.
Pukul 03.00 dini hari, bulan purnama sudah menyingkir ke ufuk. Andika dan Andini sudah terlelap di peraduan. Tapi mataku tak bisa kupejamkan di sofa. Sekali lagi, suara gedebuk berbunyi di dapur. Kali ini malah disertai dengan suara langkah kaki. Ada tapak sepatu berhak tinggi, melangkah dasri belakang ke depan.
Dengan keberanian yang tersisa di jiwaku, aku berusaha membuka pintu dan melongo ke arah suara. Duh Gusti! Seumur hidup baru kali ini aku melihat telak wajah hantu yang dianggap khayalan itu. Baru kali ini pula aku berhadapan langsung dan sosok itu menyerangku.
"Aku Sisca Hansen dari Swedia! Aku penghuni rumah ini dan pemilik purnama 14. Kau menempati rumah ini tanpa seizinku, untuk itu kau harus menerima hukumanku!" kata makhluk ajaib itu, dengan kata-kata dalam bahasa Inggris.
Batinku kembali bergetar hebat, denyut jantungku bagaikan diguncang guntur. Takut, ya sangat takut. Hantu wanita yang mengaku bernama Sisca Hansen itu tanpa badan. Kepalanya mengawang seperti melayang-layang di dalam rumah kami. Bukan karena berani, tapi aku tetap berdiri di situ karen super takut. Akibat rasa takut yang begitu besar, maka aku tak bisa beranjak barang sesenti pun.
Belum sempat hantu kepala perempuan jalan, muncul pula hantu laki-laki kurus kering mirip morfinis. Badan yang mirip tengkorak itu mengaku bernama Cekovski dari Cekoslawakia yang terpecah.
"Aku dari Republik Zheck yang menghuni rumah ini, aku mati karena over dosis, tahukah kau cerita itu?" tanyanya, sambil melototkan matanya yang berdarah ke mukaku.
Aku terkencing-kencing tak mampu menjawab. Jangankan berbicara, bergerak saja tubuhku tak bisa lagi.
"Ya, tidak usah jawab apa yang kupertanyakan padamu. Tapi, aku perlu memberitahumu, untuk dapat tinggal aman di rumah ini, beri kami darah sapi. Setiap dua kali satu tahun, potongkan darah dan jantung sapi sebagai makanan kami!" tekannya.
Belum sempat aku bergerak membangunkan dua anakku, mereka menghilang ke balik tembok rumah. Sementara itu, matahari mulai mengeluarkan warna fajar merah ke sela-sela dinding pintu yang bolong.
"Hari sudah pagi!1" pikirku, masih kaku di depan pintu kamar Andika dan Andini. Syukur Alhamdulillah, aku bisa berdiri. Tapi penciumanku terus dihujani oleh bau melati yang berarti, hantu-hantu itu masih di situ. Dari balik pintu, kulihat mas Handoko dan Hardiman datang membawa barang-barang dari Denpasar.
Mereka berjalan malam dengan boat itu ke pulau Sigiling. Kutubruk mas Han dan kuceritakan apa saja yang kutemui pada malam yang menyeramkan itu. Mas Han yang tadinya selalu menyangkal soal hantu, kali ini mengangguk. Dia telah mendengar banyak dari Hardiman dan orang-orang kampung, bahwa hantu itu memang ada di rumah kami dan butuh tumbal.
Maka ketika kuceritakan tuntutan arwah menyangkut sapi itu, mas Han langsung setuju. Siang harinya kami langsung membeli sapi dan memotongnya. Darah satu ember besar bersama jantung, hati dan limpanya, kami satukan dan ditaruh di pohon beringin sebelah rumah. Malam harinya kami mendengar suara makhluk-makhluk itu memakan darah dan jantung serta limpa yang kami sediakan.
Setelah dilihat siangnya oleh mas Han, barang-barang satu ember itu tuntas habis dilahap makhluk misterius itu. Tapi hasil yang kami dapatkan luar biasa. Makhluk itu tidak menampakkan diri lagi sejak itu. Tapi 2x setahun, kami menyediakan seekor sapi untuk diambil jantung dan limpanya.
Sementara dagingnya, kami bagi-bagikan untuk anak yatim piatu, orang-orang jompo dan warga miskin di pulau Sigiling.
Mungkin karena pertimbangan prestasi kerja, maka aku dinaikkan jabatan sebagai kepala divisi. Mendengar keputusan naik jabatan, jujur saja, aku senang sekali. Tapi karena tempat jabatan baru ini, maka aku jadi gundah gulana. Pasalnya, aku bakal ditempatkan di daerah angker Pulau Sigiling, satu pulau yang terpencil di Selat Bali, Nusa Tenggara Barat.
"Terima aja Ma, soalnya selain dikasih fasilitas speed boat, Mama juga terima gaji baru, dua kali lipat dari gaji yang lama!" bisik suamiku, Mas Handoko, soal jabatan baruku itu.
Mas Handoko siap mengurus perpindahan sekolah dua anak kami yang masih duduk di kelas satu dan kelas dua SD di Mataram, Andika dan Andini.
Pulau Sigiling di tempuh dengan jarak 60 mil laut dari pulau Senggigih, Lombok Barat. Perjalanan boat Awani Style dari Mataram bisa sampai dalam waktu kurang dari dua jam. Di pulau Sigiling, terdapat multi cottage, baik yang bersifat tradisional maupun yang modern.
Di tengah pulau, ada satu panggung kesenian untuk tontonan para turis. Setiap bulan, ada pertunjukan tari, teater estetik etnik dan wayang Lombok. Di sekitar panggung, bermukim warga suku Sasak yang membuat kerajinan tangan. Hasil kerajinan itu dijual kepada wisatawan mancanegara yang datang, juga dieksport lewat Departemen Perdagangan.
Nah, sebagai pekerja bidang pemasaran barang kerajinan rakyat lewat PT. Anugrah Budikarya, aku sangat menguasai eksport benda kerajinan itu. Sepuluh tahun lamanya aku bekerja di PT. Anugrah Budikarya dan ikut berperan serta aktif dalam memajukan usaha industri kecil rakyat Nusa Tenggara Barat.
Maka karena pengabdian, kesetiaan dan prestasi selama 10 tahun di situ, tak urung Mr. Suwardi Joyohadiningrat, direktur utama perusahaan, memilih aku menduduki jabatan divisi marketing on the spot yang baru dibuka di pulau Sigiling.
Setelah mempertimbangkan matang selama tiga hari, aku akhirnya memutuskan menerima jabatan baru itu. Tanggal 13 November 2001 kami memboyong semua perlengkapan rumah tangga dan menempati rumah baru di Jalan Akasia Raya no. 43 pulau Sigiling.
Hardiman yang sangat matang pengalaman di pulau Sigilling, memberitahukan bahwa rumah baru kami di jalan Akasia 43 itu sangat angker. Dulu pernah ada turis asing asal Zheck, Eropah Timur yang mati karena over dosis, menyuntikkan cocain yang berlebih hingga mulutnya mengeluarkan darah kental lalu meninggal di rumah itu.
Lain lagi, ada pula turis perempuan asal Swedia, Eropah Barat yang mati gantung diri setelah mendengar berita suaminya masuk penjara di Oslo, Norwegia. Setelah diselidiki oleh interpol, ternyata si turis yang gantung diri ada keterkaitan kejahatan dengan suaminya. Untuk menyelamatkan anak-anak turis itu memilih mati.
Dua kejadian ini cukup membuat masyarakat pulau Sigiling mempercayai bahwa ada roh yang hidup dan muncul setiap bulan purnama ke 14 di rumah jalan Akasia 43. Masyarakat percaya karena banyak saksi mata yang mengalami hal itu. Tahun 1998 Ketut Arnawe (34), pekerja Wears Cottage yang letaknya berhadapan dengan rumah Akasia 43, melihat penampakan hantu tanpa badan.
Ketut Arnawe melihat kepala melayang dari dalam rumah ke pohon beringin di samping cottagenya. Tahun 1999 Nyonya Widi Sanusi (46), pemilik restoran Dinner Party yang berada di sebelah utara Akasia 43 juga melihat hantu kepala, yang duduk nongkrong di tangga samping rumah Akasia.
Tahun 2000 lalu, Amir Hamzah asal Padang yang buka rumah makan Rancak di ujung jalan Akasia, bertemu manusia tengkorak yang turun dari genting rumah masuk ke sumur belakang. Tahun 2001, Eyang Ronggur (81) sesepuh pulau Sigiling, manusia pertama yang tinggal di pulau itu, menemukan gadis misterius berambut sepunggung, yang kakinya tidak menginjak tanah. Perempuan itu diyakini Eyang Ronggur sebagai kuntilanak penghuni rumah Akasia 43 yang bakal kami tempati.
Karena cerita-cerita menyeramkan inilah, maka aku takut. Malam tanggal 14 November 2001, memang tidak ada tanda-tanda bahwa rumah kami berpenghuni hantu. Begitu pula pada malam berikutnya, malam 15, 16, 17 dan 18 November 2001, tidak ada tanda-tandas ada yang ganjil di kediaman kami yang termewah di pulau Sigiling itu.
Namun pada malam ke 19 November, pada saat rembulan sedang purnama 14, batinku dikagetkan oleh suara burung hantu yang mengepakkan sayap dan bersuara melengking di genting rumah kami. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 24.00 tengah malam.
Mulanya suara burung aneh itu pelan, lalu mengeras dan makin keras hingga suara seperti suara orang bernyanyi. Tidak lama setelah suara berhenti, ruang dapur kami berbunyi seperti durian runtuh. Jantungku berdetak kencang dan nyaliku tiba-tiba menjadi ciut.
Pada saat bersamaan, tercium bau bunga melati dan kemenyan Arab, sangat lekat dan terasa menempel di lobang hidungku. Sial benar, umpatku. Soalnya, mas Handoko malam itu sedang pergi ke Denpasar dan membawa obat inventarisku untuk membeli bahan baku kerajinan Art Shop milik Made Astani di Kuta.
"Kalau saja mas Handoko ada di rumah, batinku tidak akan menderita ini!" pikiku.
Mau tidak mau, walau anak-anak tidak bisa apa-apa, aku membangunkan mereka di kamar depan. Tapi lagi-lagi aku terkejut. Dua anakku yang tidur sekamar itu, ternyata tidak ada di tempat. Padahal sebelum aku menidurkan mereka dengan nyanyian nina bobo dan cerita-cerita pak Lebai. Artinya kau lihat betul mreka tertidur dan pula di dua ranjang yang berseberangan.
"Oh Tuhan, ke mana anakku?" tanya batinku.
Karena terguncang oleh kasus hilangnya dua anak, maka rasa takut terhadap hantu pun menjadi musnah. Dengan jantung berdebar hebat, aku pergi ke kamar mandi yang ada di dapur. Barangkali saja Andika dan Andini pergi ke kamar mandi. Padahal suara heboh baru saja muncul dari dapur, di mana kamar mandi itu ada.
"Mereka pasti ada di kamar mandi dan lagi buang air bareng-bareng," pintaku, berdoa pada Tuhan.
Alhamdulillah, Tuhan ternyata mengabulkan doaku. Dua anakku itu benar ada di kamar mandi dan mereka buang air bersamaan.
"Ada apa Ma? Mama kok kayak gelagapan begitu?" tanya Andika, sambil memukul pahaku.
"Tidak, mama dengar suara burung aneh di atas sana, setelah itu mama dengar suara sesuatu benda yang jatuh di dapur ini!" terang ku pada Andika dan Andini.
Andika menggeleng. Dia tidak mendengar apa-apa. Jangankan suara benda jatuh, suara burung pun, sama sekali tidak mendengar. Padahal sudah satu jam mereka terbangun karena kepingin pipis.
"Mama mimpi kali?" pancing Andini, samibl terpingkal.
Anak-anakku itu bernyali seperti bapaknya. Mereka salah satu dari sekian banyak orang yang tidak percaya adanya eksistensi hantu. Sementara aku, sama seperti ayahku, adalah orang yang sangat takut pada makhluk-makhluk tak kasad mata termasuk hantu.
Dari kamar mandi, anak-anak kembali masuk ke kamar tidurnya. Sementara aku, duduk di sofa tempat mereka tidur. Malam itu aku tak berani tidur sendiri, bahkan tidak berani masuk ke kamarku lagi. Karena tahu aku takut, Andini dan Andika ngeledekku. Mereka bilang aku seperti bayi. Bayi yang takut melihat mata boneka yang melotot.
Pukul 03.00 dini hari, bulan purnama sudah menyingkir ke ufuk. Andika dan Andini sudah terlelap di peraduan. Tapi mataku tak bisa kupejamkan di sofa. Sekali lagi, suara gedebuk berbunyi di dapur. Kali ini malah disertai dengan suara langkah kaki. Ada tapak sepatu berhak tinggi, melangkah dasri belakang ke depan.
Dengan keberanian yang tersisa di jiwaku, aku berusaha membuka pintu dan melongo ke arah suara. Duh Gusti! Seumur hidup baru kali ini aku melihat telak wajah hantu yang dianggap khayalan itu. Baru kali ini pula aku berhadapan langsung dan sosok itu menyerangku.
"Aku Sisca Hansen dari Swedia! Aku penghuni rumah ini dan pemilik purnama 14. Kau menempati rumah ini tanpa seizinku, untuk itu kau harus menerima hukumanku!" kata makhluk ajaib itu, dengan kata-kata dalam bahasa Inggris.
Batinku kembali bergetar hebat, denyut jantungku bagaikan diguncang guntur. Takut, ya sangat takut. Hantu wanita yang mengaku bernama Sisca Hansen itu tanpa badan. Kepalanya mengawang seperti melayang-layang di dalam rumah kami. Bukan karena berani, tapi aku tetap berdiri di situ karen super takut. Akibat rasa takut yang begitu besar, maka aku tak bisa beranjak barang sesenti pun.
Belum sempat hantu kepala perempuan jalan, muncul pula hantu laki-laki kurus kering mirip morfinis. Badan yang mirip tengkorak itu mengaku bernama Cekovski dari Cekoslawakia yang terpecah.
"Aku dari Republik Zheck yang menghuni rumah ini, aku mati karena over dosis, tahukah kau cerita itu?" tanyanya, sambil melototkan matanya yang berdarah ke mukaku.
Aku terkencing-kencing tak mampu menjawab. Jangankan berbicara, bergerak saja tubuhku tak bisa lagi.
"Ya, tidak usah jawab apa yang kupertanyakan padamu. Tapi, aku perlu memberitahumu, untuk dapat tinggal aman di rumah ini, beri kami darah sapi. Setiap dua kali satu tahun, potongkan darah dan jantung sapi sebagai makanan kami!" tekannya.
Belum sempat aku bergerak membangunkan dua anakku, mereka menghilang ke balik tembok rumah. Sementara itu, matahari mulai mengeluarkan warna fajar merah ke sela-sela dinding pintu yang bolong.
"Hari sudah pagi!1" pikirku, masih kaku di depan pintu kamar Andika dan Andini. Syukur Alhamdulillah, aku bisa berdiri. Tapi penciumanku terus dihujani oleh bau melati yang berarti, hantu-hantu itu masih di situ. Dari balik pintu, kulihat mas Handoko dan Hardiman datang membawa barang-barang dari Denpasar.
Mereka berjalan malam dengan boat itu ke pulau Sigiling. Kutubruk mas Han dan kuceritakan apa saja yang kutemui pada malam yang menyeramkan itu. Mas Han yang tadinya selalu menyangkal soal hantu, kali ini mengangguk. Dia telah mendengar banyak dari Hardiman dan orang-orang kampung, bahwa hantu itu memang ada di rumah kami dan butuh tumbal.
Maka ketika kuceritakan tuntutan arwah menyangkut sapi itu, mas Han langsung setuju. Siang harinya kami langsung membeli sapi dan memotongnya. Darah satu ember besar bersama jantung, hati dan limpanya, kami satukan dan ditaruh di pohon beringin sebelah rumah. Malam harinya kami mendengar suara makhluk-makhluk itu memakan darah dan jantung serta limpa yang kami sediakan.
Setelah dilihat siangnya oleh mas Han, barang-barang satu ember itu tuntas habis dilahap makhluk misterius itu. Tapi hasil yang kami dapatkan luar biasa. Makhluk itu tidak menampakkan diri lagi sejak itu. Tapi 2x setahun, kami menyediakan seekor sapi untuk diambil jantung dan limpanya.
Sementara dagingnya, kami bagi-bagikan untuk anak yatim piatu, orang-orang jompo dan warga miskin di pulau Sigiling.
Komentar