TASAWUF SEBAGAI PARADIGMA (BARU) SAINS ISLAMI

AGUS SISWANTO
Spiritualisme pernah menduduki posisi terendah dalam sains modern. Hal itu karena sains berpijak pada fakta yang terindera dan disahkan oleh rasio (akal). Sedangkan spiritualisme menitik beratkan pada aspek batiniah, sesuatu yang tidak akan pernah terjangkau laboratorium tercanggih manapun. Meski begitu, kini saintis mulai melirik bentuk-bentuk spiritual untuk melengkapi kekurangan pada sains fisis.
Kegagalan saintis menemukan obat HIV/AIDS, terapi paling manjur bagi penderita kecanduan narkoba dan beragam penyakit baik jasmani maupun rohani, mendorong mereka mengkaji secara lebih intensif perilaku spiritual yang nota bene non ilmiah. Begitupun di bidang fisika, terori-teori atau sekedar postulat ilmiah hingga kini masih belum menemukan kesatuan hukum yang lebih niversal.
Sudah bukan rahasia lagi kalau spiritualis (ahli spiritual) tempo dulu dikenal memiliki reputasi tinggi di bidang sains. Misalnya saja hasil karya arsitektur seperti Piramida, Candi Borobudur, Candi Angkor Wat, Taj Mahal, dan masijid-masjid peninggalan para wali. Semuanya menggambarkan betapa arsitek dulu mampu berkarya besar tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.
Dalam dunia kedokteran, tabib-tabib Cina dikenal karena kemampuannya meracik obat dari akar tumbuhan. Bahkan bentuk pengobatan akupunktur dan bekam (hijamah) hingga kini masih dijalankan di dunia modern. Umumnya tabib-tabib itu berprofesi pula sebagai spiritualis.
Dunia spiritual yang pernah berjaya membawa bangsa-bangsa tempo dulu mencapai peradaban tinggi, sekarang mendapat perhatian kembali. Salah satu diantaranya adalah: Tasawuf.

Selama ini tasawuf dikenal sebagi salah satu laku batin dengan tujuan kebersihan hati, memupuk akhlak dan budi pekerti yang baik dan mencari keridhoan Allah SWT. Melatih sifat-sifat sabar, syukur, ridho, tawakal dan seluruh sifat terpuji yang berkaitan dengan jasmani dan rohani.
Dimensi spiritualnya terangkum dalam cara peribadatannya seperti shalat, puasa, zikir, wirid, tafakur, muraqabah, mujahadah, mukasyafah dll. Namun yang menjadi titik perhatian para saintis adalah tasawuf sebagai paradigma dalam pencarian sumber pengetahuan yang hakiki.
Ada berbagai macam sumber pengetahuan yaitu: rasio empiris, intuisi, dan ilham. Mereka yang menganggap bahwa rasio adalah sumber pengetahuan yang dapat dipercaya di sebut: rasionalisme. Sedangkan mereka yang menekankan bahwa pengalamanlah (riset) yang menjadi sumber pengetahuan disebut: empirisme. Keduanya berpijak pada sikap skeptisisme (ragu-ragu) dengan menggunakan metode dedukatif dan indukatif. Adapun intuisi merupakan sumber pengetahuan yang didapat secara tiba-tiba tanpa proses pemikiran (rasio) dan pengalaman (empiri). Meski begitu intuisi masih di pengaruhi rasio dan empiri, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan universal. Sedangkan ilham merupakan sumber pengetahuan yang datangnya langsung dari Tuhan. Kebenarannya bersifat pasti dan absolut.
Tasawuf sebagai paradigma baru sains menempatkan ilham di atas rasio, empiri dan intuisi. Dengan kata lain mencari sains yang hakiki sebenarnya melalui penghayatan agama secara sungguh-sungguh. Dus, kombinasi sains dan tasawuf (berpikir dan berzikir) adalah manifestasi kombinasi rasio, empiri, intuisi dan ilham, yang akan melahirkan sains universal.
Pada galibnya, sains untuk mencapai hakekat alam semesta bukan dicapai dengan sains yang dipikirkan oleh otak, tetapi oleh sains yang muncul dari dalam batin. Singkatnya, cara mengenal alam semesta berikut hukum-hukumnya (sunnatulah) bukan dengan jalan penyelidikan akal pikiran semata-mata. Tapi juga dengan jalan menanyakannya dalam batin atau meneropong lewat mata batin.
Dengan cara itu maka akan tersingkaplah tabir rahasia alam semesta yang selama ini menyelimuti saintis. Manakala itu terjadi akan diketahuilah hakekat penciptaan alam semesta. Dalam kondisi ini akal pikiran tak berjalan lagi, tapi meningkat pada derajat yang paling tinggi, jauh di atas ukuran akal manusia.
Manfaat berpikir dan berzikir tercantum dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imron (Q.S;3.190-191): “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi..”
Kelak bila kita mampu mengintegrasikan aktifitas pikir dan zikir, insya Allah akan lahir suatu sains baru yang bukan saja bersifat universal, melainkan juga sarat nilai-nilai spiritual.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)

Pelet Lewat Tatapan Mata