Sang Pelita Masjidil Haram

YANTI

Dia melakukan shalat di sepanjang malam dan membaca Al-Quran hingga khatam. Selama tiga puluh tahun, selalu duduk di bawah air mancur di Masjidil Haram, dan selama itu pula cukup bersuci sekali dalam dua puluh empat jam….
Abu Bakar Al-Kattani adalah salah satu sufi pengikut Sultan Auliya Junaid Al-Baghdadi yang wafat pada tahun 298 H/910 M. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani. Dia lahir di Baghdad, tetapi tidak jelas tahun kelahirannya. Para penulis riwayat hidup sufi hanya menulis tahun kematiannya, yaitu di Makkah pada tahun 322 H/934 M.
Setelah puas berguru kepada Al-Junaid Abu Bakar Al-Kattani meminta izin kepada ibunya untuk menunaikan ibadah haji, meski pada waktu itu dia masih remaja. Ketika sampai di padang pasir, dia mengisahkan, ”Aku bermimpi sehingga aku harus bersuci. Di dalam hati aku berkata, mungkin aku tidak mempunyai persiapan yang selayaknya.
Maka aku pun kembali pulang. Sesampainya di rumah, kudapati ibu sedang menantiku di balik pintu. Aku bertanya kepadanya, ’Ibu, bukankah Ibu telah mengizinkan aku pergi haji?’ ’Ya,’ jawab ibuku. ’Tetapi tanpa engkau, aku tidak sanggup melihat rumah ini lagi. Sejak engkau pergi, aku duduk di tempat ini. Aku telah bertekad tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum engkau pulang kembali.’ Itulah sebabnya, sebelum ibuku meninggal dunia, aku tidak mau mencoba mengarungi padang pasir lagi.”
Setelah ibunya meninggal, Abu Bakar pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana hingga wafatnya. Di sana, dia selalu melakukan shalat di sepanjang malam dan membaca Al-Quran hingga khatam. Selama tiga puluh tahun, dia selalu duduk di bawah air mancur di dalam Masjidil Haram, dan selama itu pula dia cukup bersuci sekali dalam dua puluh empat jam. Di samping itu, dia pun jarang tidur, dan lebih mementingkan ibadah kepada Allah SWT. Karena itulah, dia mendapat gelar Pelita Masjidil Haram.
Berikut ini adalah kisah-kisah karomah tentang Abu Bakar al-Kattani yang sangat menarik untuk disimak:

Mimpi Bertemu Nabi SAW

”Ada sedikit kebencian di dalam hatiku kepada Ali, amirul mu’minin. Karena Nabi SAW pernah bersabda, ’Tidak ada ksatria sejati selain daripada Ali. ’Dan karena keksatriaannya itulah, walaupun golongan Mu’awiyah berada di pihak yang salah dan dia di pihak yang benar, Ali menyerah kepada mereka agar pertumpahan darah tidak terjadi.”
”Aku mempunyai sebuah rumah kecil antara Bukit Shafa dan Marwah, Makkah. Di rumah itu aku bermimpi melihat Nabi SAW beserta sahabat-sahabat yang dikasihinya. Nabi menghampiri dan merangkulku. Kemudian, sambil menunjuk ke arah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia bertanya, ’Siapakah dia?’
Aku menjawab, ’Abu bakar.’
Kemudian Nabi menunjuk ke arah Umar Al-Faruq, dan aku menjawab, ’Umar’.
Setelah itu Nabi menunjuk ke arah Ali, aku merasa sangat malu untuk menjawab, karena selama ini aku menaruh benci kepadanya.
Kemudian Nabi mendamaikan aku dengan Ali, dan kami saling berangkulan. Setelah itu semuanya meninggalkan tempat itu, kecuali Nabi SAW yang mengajakku. Maka naiklah kami ke puncak gunung itu, dan dari tempat itu kami memandang Ka’bah.
Ketika aku terjaga, ternyata diriku telah berada di puncak Gunung Abu Qubais. Sejak kejadian ini, sedikit pun tidak tersisa lagi kebencianku kepada Ali.”

Bertemu Nabi Khidir AS

Ada seorang tua berwajah cerah berseri-seri, mengenakan jubah yang anggun. Pada suatu hari orang tua ini melewati gerbang Bani Syaibah dan menghampiri Al-Kattani, yang sedang berdiri dengan kepala tertunduk. Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata,
”Mengapa engkau tidak pergi ke Maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang, dan dia sedang menyampaikan hadits-hadits yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya.”
”Siapakah perawi hadits-haditsnya yang dikhutbahkannya itu?” Al-Kattani bertanya.
”Dari Abdullah bin Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah, dan dari Muhammad,” jawab orang tua itu.
”Sebuah rantai perawi yang panjang. Segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rantai panjang perawi dapat kita dengarkan secara langsung di tempat itu,” ujar Al-Kattani.
”Melalui siapakah engkau mendengar?”
”Hatiku menyampaikan padaku langsung dari Allah,” jawab Al-Kattani.
”Apa kata-katamu itu dapat dibuktikan?”
”Inilah buktinya. Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Nabi Khidir,” kata Al-Kattani.
”Selama ini aku mengira tidak ada sahabat Allah yang tidak kukenal,” Khidir berkata. ”Demikianlah halnya sebelum aku bersua dengan Abu Bakar. Maka sadarlah aku bahwa masih ada sahabat-sahabat Allah yang tidak kukenal tapi kenal kepadaku.”

Tertawa dan Dosa Sang Murid

Di lain riwayat, Abu Bakar Al-Kattani mengisahkan, ”Di dalam sebuah mimpi aku bertemu seorang remaja yang sangat tampan. Aku bertanya kepadanya, ’Siapakah Anda?’
“Keshalihan!” jawabnya.
“Di manakah tempatmu?”
“Di dalam hati orang-orang yang berbuat sesuka hati mereka dan orang-orang yang bersenang-senang.”
Ketika aku terbangun, aku bertekad, bahwa seumur hidupku aku tidak akan tertawa kecuali apabila aku sudah tidak kuasa menahannya.
Ketika Abu Bakar Al-Kattani sudah menjadi guru, ada seorang muridnya yang sedang sekarat menantikan ajal. Si murid membuka matanya dan memandang ke arah Ka’bah. Tepat pada saat itu seekor unta yang lewat di tempat itu menyepak mukanya sehingga biji matanya tercungkil keluar.
Sesaat kemudian, terdengarlah oleh Abu Bakar sebuah suara yang berkata di dalam dirinya. ”Di dalam keadaan seperti ini, ketika rahasia-rahasia dari Yang Maha Ghaib hendak dibukakan kepadanya, dia malah berpaling ke arah Ka’bah. Oleh karena itulah dia dihukum. Apabila berhadapan dengan Sang Pemilik Rumah, janganlah engkau berpaling memandangi rumah-Nya.”

Mayat Yang Tersenyum

Abu Bakar Al-Kattani meriwayatkan sebagai berikut ini:
Ketika aku berada jauh di tengah padang pasir terlihatlah olehku mayat seseorang. Mayat itu tersenyum.
“He! Mengapakah engkau dapat tersenyum sedangkan engkau sudah mati?” aku berseru.
“Karena kasih Allah”, jawab mayat itu.
Abu Bakar mengisahkan pula: “Aku pernah bersahabat dengan seseorang, dan dalam persahabatan itu aku merasa sangat canggung. Aku beri dia suatu hadiah, tetapi kecanggungan itu tidak hilang. Aku bawa ia ke rumahku dan kukatakan kepadanya: ‘Taruhlah kakimu di mukaku!’
Mula-mula dia menolak, tetapi aku terus mendesak. Akhirnya ia menaruh kakinya ke mukaku sedemikian lamanya sehingga kecanggunganku itu sirna dan berubah menjadi cinta.
Pada suatu ketika, dari sebuah sumber yang halal, aku menerima uang dua ratus dirham. Uang itu kubawa untuk sahabatku itu dan kutaruh di atas sajadahnya.
“Pergunakanlah uang itu untuk keperluanmu,” aku berkata kepadanya.
Dengan lirikan matanya ia memandang dan menjawab, “Hidupku yang seperti sekarang ini telah kubeli dengan harga tujuh puluh ribu dinar. Apakah engkau hendak menghanyutkanku dengan uangmu itu?”
Kemudian sahabatku itu bangkit menepiskan sajadahnya dan meninggalkan tempat itu. Seumur hidup belum pernah aku menemukan manusia yang bermartabat seperti dia, dan belum pernah aku malu seperti ketika aku memunguti kepingan-kepingan dirham itu”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

Perjanjian Gaib dengan Nyai Plencing

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)