Nabi Dawud AS Bocah Miskin Yang Menjadi Raja

Mawan Suganda


Nabi Dawud AS Bocah Miskin Yang Menjadi Raja

Sejarah yang pernah sahabat Histeri baca barangkali tak pernah menjelaskan bahwa Nabi Dawud nyaris disingkirkan dan dibunuh oleh mertuanya sendiri. Ada juga sebagian dari kaumnya yang berubah wujud menjadi kera….
Dikisahkan, suatu waktu negara Israil berada dalam cengkeraman kaum penjajah, yang dipimpin oleh seorang lelaki kekar bernama Jalut (Goliath). Bangsa Israil pun lalu bangkit melawan mereka di bawah pimpinan Thalut. Thalut ini adalah seorang raja yang ditunjuk langsung oleh Allah SWT, dengan perantaraan wahyu yang disampaikan melalui Nabi Samuel AS. Sejarah kemudian membuktikan bahwa kaum penjajah akhirnya dapat diusir setelah pemimpin mereka, Jalut, berhasil dibunuh oleh seorang remaja berumur 9 tahun bernama Dawud.
Karena Dawud-lah maka tercapai kemenangan gilang-gemilang, yang mempunyai arti dalam sejarah besar bagi Bani Israil. Dengan kemenangan ini pun, nama Dawud menjadi harum di seluruh lapisan masyarakat, menjadi sebutan dan buah bibir, ditambah pula dengan sifat dan budi pekertinya yang suci.
Di antara orang yang sangat menyukai Dawud, adalah Raja Thalut sendiri. Ia belum merasa puas jika sekadar menghormat dan memuliakan Dawud. Lebih dari itu semua, ia ingin menjadikan Dawud sebagai menantunya. Kebetulan sekali, Thalut memang mempunyai beberapa anak perempuan yang masih gadis, dan yang tercantik bernama Mikyal. Maka setelah Dawud mencapai usia pernikahan, segera dikawinkanlah dengan anak gadisnya yang tercantik ini. Dengan demikian, Dawud mendapatkan dua kemenangan, yaitu kemenangan di medan perang dan kemenangan dalam hal asmara.
Dengan terjadinya pernikahan ini, terikat eratlah dua kekuatan yang susah dihancurkan oleh musuh. Negara yang dipimpin oleh Thalut semakin maju dan makmur, sedang tentara yang dipimpin oleh Dawud semakin maju dan kuat pula.
Waktu terus berjalan. Pada suatu hari, Dawud melihat keadaan yang sangat berubah pada diri Thalut terhadap dirinya. Setiap berhadapan, dilihatnya muka Thalut kusut dan masam. Kalau Thalut berkata, maka kata-katanya mulai memperlihatkan rasa tidak senang terhadap dirinya, begitu juga jika dia tersenyum, terasa ada kepahitan di baliknya.
Dawud merasa sangat heran melihat perubahan yang tiba-tiba itu pada diri mertua sekaligus junjungannya ini. Bukankah dia telah menyerahkan dirinya untuk mengabdi kepada raja? Bukankah dia juga sebagai menantunya? Apakah gerangan yang telah menyebabkan demikian berubahnya hati Thalut terhadap dirinya? Demikian, beberapa pertanyaan yang sulit dijawab berputar-putar dalam benak Dawud.
Keadaan semakin ruwet dalam pandangan Dawud. Dia tidak tahan lagi untuk menyimpan teka-teki ini dalam hatinya, dan ingin menanyakan hal itu kepada istrinya. Dia berharap sang istri mengetahui akan duduk perkaranya.
Pada suatu hari, ketika hanya berdua saja dengan istrinya di sebuah kamar, Dawud berkata, “Ya, Mikyal, saya tidak tahu apakah saya telah salah duga ataukah memang benar demikian adanya. Saya sepertinya melihat perubahan besar dalam sikap Ayahanda. Seakan-akan beliau menaruh perasaan tidak senang terhadap diriku. Bukan saja gerak-gerik dan kata-katanya, tetapi juga pandangan matanya seperti mengandung rasa benci dan curiga. Bagaimana pandanganmu tentang semua ini, Dinda?”
Mikyal seorang wanita yang masih muda, tinggi pengetahuannya, serta berakhlak sangat mulia, tentu tahu akan kewajibannya. Dia cinta kepada suaminya, tetapi perlu pula cinta dan hormat kepada orang tuanya sendiri. Berat pikirannya untuk menjawab pertanyaan suaminya itu. Tetapi ketulusan jiwa dan keikhlasan batinnya, memaksa dia untuk berterus terang tentang apa yang yang dirasakan dan dilihatnya.
Mikyal lalu menjawab, “Saya tidak akan menyembunyikan apa yang kuketahui ya Dawud, suamiku. Saya tidak akan menutupi kepadamu hal-hal yang tidak engkau ketahui, sejak Bani Israil mencintai dan menghormatimu dengan kecintaan yang begitu hebat. Rupanya, setelah melihat bahwa setiap perintah darimu selalu ditaati oleh bangsa kita dan kedudukanmu makin tinggi, diam-diam ayah merasa iri hati dan dengki. Takut kalau-kalau kekuasaan yang ada padanya sekarang ini, berpindah ke tanganmu.
Sekalipun ayahku itu termasuk orang yang beriman kepada Allah dengan segala keikhlasan dan termasuk salah seorang yang berpengetahuan tinggi serta bijaksana, raja besar yang disegani oleh setiap raja, tetapi akhir-akhir ini saya juga melihat perubahan sikap tersebut. Ayahku ingin menyingkirkan engkau, menghapus pengaruhmu, bahkan kalau dapat akan membuangmu dari pergaulan hidup.
Oleh sebab itu, saya ingin menasehatimu agar mulai sekarang berjaga-jaga untuk keselamatanmu sendiri. Menurut pikiranku, untuk menghindarkan bahaya yang mungkin tiba itu, maka sebaiknya engkau menjauhkan diri dari sini.”
Mendengar semua yang dikatakan isterinya, Dawud kemudian perkata, “Aku ini hanya serdadu biasa, tidak ingin merebut kedudukan raja yang kutaati dan kupertahankan. Apalagi aku ini seorang Mukmin. Sungguh Thalut menurutkan pengaruh setan saja, menuruti hawa nafsu kekuasaan dunia.”

Rencana Membunuh Nabi Dawud AS

Putusan untuk pergi seperti yang dinasehatkan istrinya itu, belum diambil oleh Dawud. Dia masih tetap diam di lingkungan kerajaan, sekalipun dengan keadaan seperti berdiri di atas bara yang menyala-nyala.
Pada suatu hari, tiba-tiba Thalut memanggil Dawud datang menghadap kepadanya, seraya berkata, “Hari ini aku mendapat kabar yang sangat gawat. Bangsa Kan’aan dengan tentaranya yang besar dan kuat, telah mulai menyerang negeri kita.
Tidak ada yang dapat mempertahankan keselamatan negeri kita sekarang ini, selain engkau sendiri, wahai Dawud. Ambillah pedang dan perisaimu, kumpulkan tentara-tentara yang kamu pilih, pergilah berangkat sekarang juga untuk menghalaukan musuh tersebut. Dan engkau tidak boleh kembali pulang tanpa membawa kemenangan.”
Dawud merasa bahwa perintah itu sangat berbeda dari biasanya. Mungkin ini suatu cara untuk melenyapkan dirinya dari muka bumi ini, pikirnya. Tetapi sungguhpun begitu, kewajibannya sebagai tentara hanya mentaati dan menjalankan perintah yang sudah dikeluarkan oleh komandan dan rajanya sendiri.
Dengan tentara yang terbatas, Dawud berangkat ke medan perang menghadapi musuh yang besar itu. Dengan pertolongan Allah, dia menang dalam peperangan melawan bangsa Kan’aan yang terkenal ganas di medan pertempuran.
Tetapi kemenangan yang sangat besar artinya itu, ternyata tidak membuat Thalut menjadi sadar, melainkan bahkan semakin menambah perasaan dengki dan bencinya terhadap Dawud.
Karena nafsu yang dikobar-kobarkan oleh hasutan setan ini, Thalut kemudian menetapkan cara dalam hatinya untuk meyingkirkan Dawud. Ya, cara yang sejahat-jahatnya. Dia sudah menetapkan akan membunuh Dawud dengan pedangnya sendiri.
Meskipun kehendaknya ini disembunyikan, tetapi dapat tercium juga oleh anaknya, Mikyal, yang berpandangan jauh itu. Maka dengan berlinangan air mata ia berkata kepada Dawud, “Saya lebih sengsara rasanya kalau engkau terbunuh di hadapanku sendiri. Sebab itu, sekalipun agak berat, saya minta agar engkau segera melarikan diri meninggalkan rumah dan aku, untuk menjaga keselamatan dirimu dan pula diriku sendiri.”
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Dawud tidak mempunyai jalan lain yang lebih baik dan aman selain melarikan diri.
Dia pergi dengan perasaan yang tak dapat dibayangkan dengan pena dan kata-kata. Kepergiannya ini menggemparkan bangsa Israil seluruhnya. Banyak di antara keluarga dan orang-orang yang cinta kepada Dawud, mengikutinya dari belakang.
Mulanya sedikit saja orang yang ikut kepadanya, tetapi akhirnya semakin banyak juga. Seiring dengan itu, kebencian terhadap Thalut semakin meluap di hati rakyat banyak, yang insyaf dan sadar akan semua jasa-jasa Dawud.
Thalut pun semakin geram, apalagi setelah diketahui bahwa hampir seluruh anggota tentaranya, sekarang berpihak kepada Dawud yang berada dalam pelarian itu.
Kedudukan Thalut semakin lemah dan goyah. Tidak ada jalan lain bagi Thalut, selain dengan cara menyerang Dawud yang semakin kuat itu. Sebab kalau terlambat, maka kejatuhannya tak dapat dielakkan lagi.
Semua kekuatan yang ada padanya, dikerahkan untuk menyerang dan membunuh Dawud. Namun Dawud ternyata mengetahui segala rencananya ini, dan segera bersiap untuk menghadapinya, sambil tetap menjaga kesabaran dan keimanan dalam dadanya. Dengan berbagai cara, dia berikhtiar untuk menghindarkan pertempuran sesama bangsa. Tak lupa Dawud pun mengirimkan pesan agar Thalut kembali kepada kebenaran, menjauhkan segala prasangka yang tak beralasan itu.
Tetapi semua ini sia-sia belaka. Kalau tidak bertahan dan melawan, mungkin kebenaran akan hancur, sedang nafsu serakah akan merajalela. Demikian pikir Dawud. Akhirnya dia terpaksa menggerakkan pertempuran, menghadapi lawannya yang tak kenal damai itu.
Tentara Thalut sekarang berhadap-hadapan dengan tentara Dawud. Dari seorang kurir, Dawud mengetahui di mana sekarang ini Thalut sedang berada.
Ketika Thalut dan tentaranya dalam kelelahan, berhenti dan tidur di sebuah tempat pertahanannya, dengan diam-diam Dawud mendekatinya. Ia berhasil mengambil lembing perang dari tangan Thalut. Namun Thalut tidak dibunuhnya, hanya lembing itu saja yang diambil dan dibawanya.
Alangkah terperanjatnya Thalut setelah dia terbangun dan mengetahui bahwa lembingnya sudah tidak ada. Dia marah sekali terhadap kaum dan tentaranya, serta bertanya di mana lembingnya itu sekarang berada.
Dalam keadaan panik dan kacau itu, tiba-tiba di hadapan Thalut muncul seorang laki-laki membawa lembing yang hilang. Dia berkata kepada Thalut di hadapan semua kaum dan tentaranya, “Inilah lembingmu yang hilang itu. Saya adalah utusan Dawud, datang kemari untuk mengembalikan benda ini kepadamu. Lembing ini diambil oleh Daud tadi, ketika kamu tidur, dan tidak bermaksud membunuhmu. Dia berharap, dengan kembalinya lembing ini kepadamu, kembali pula keinsyafan dan kesadaran atas kesalahan tindakan yang kamu ambil.”
Kata-kata utusan Dawud ini berpengaruh besar dalam jiwa Thalut, air matanya keluar setetes demi setetes. Tampak benar sesalnya atas tindakannya selama ini. Thalut menangis tersedu-sedu, dia teringat telah banyak membunuh orang-orang yang melarikan diri kepada Dawud, membunuh ulama-ulama dan pembesar-pembesar bawahannya sendiri.
Thalut sadar akan besarnya dosa yang telah diperbuatnya. Terbayang di matanya siksa apa pula yang akan diterimanya dari Allah di alam akhirat nanti. Pertempuran pun tidak terjadi. Thalut dan tentaranya kembali pulang membawa kemenangan yang berupa sesal dan kesadaran.
Setibanya di rumah, dia tanggalkan semua pakaian kerajaan dan kebesarannya. Dia tekun menghadapkan muka dan jiwa kepada Allah semata, minta ampun dan taubat dengan hati yang setulus-tulusnya. Begitulah kerjanya sehari-hari, sampai badannya menjadi lemah juga. Dengan mulut yang tidak kering-keringnya, ia terus-menerus memohon ampun dan mensucikan nama Tuhan. Suatu hari, dia akhirnya meninggal dunia, pulang ke Rahmatullah.
Mendengar sang raja telah wafat, seluruh rakyat dengan spontan berkerumun di sekitar Dawud dan mengangkatnya menjadi raja mereka. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Bani Israil maju pesat, aman dan makmur dengan rakyat yang bertakwa kepada Allah SWT.
Selain menjadi raja besar Bani Israil, Dawud pun diangkat oleh Allah sebagai salah seorang rasul-Nya, dengan dikaruniai berbagai macam mukjizat sebagai tanda kerasulannya. Sejarah mengisahkan, dia memiliki seratus orang isteri yang setia, dan dari salah satu di antara mereka lahirlah Sulaiman yang kelak juga menjadi raja besar Bani Israil, menggantikan kedudukan ayahnya. Dan seperti Dawud AS, sang anak ini pun diangkat oleh Allah SWT sebagai salah satu utusan/rasulnya.

Peristiwa Hari Sabtu

Sejak dahulu sudah ditetapkan Allah SWT, satu hari dalam seminggu, semua orang diwajibkan berkumpul untuk menjalankan ibadat bersama-sama dan menerima tuntunan-tuntunan-Nya, dengan perantaraan para rasul masing-masing. Tetapi entah karena apa, pada zaman Nabi Musa AS kaum Bani Israil sama-sama bermohon, agar yang diistimewakan itu hari Sabtu saja.
Keinginan mereka tersebut dikabulkan Allah SWT, dan sudah tetaplah menurut syari’at Nabi Musa, bahwa hari Sabtu itu adalah hari istimewa, hari dimana setiap orang tidak boleh mengerjakan hal yang lain, tetapi hanya semata-mata untuk menyembah Allah SWT, untuk bersyukur kepada Tuhan dan hari menerima pelajaran-pelajaran Tuhan atau agama.
Begitulah hal tersebut sudah menjadi adat, syari’at dan tradisi bagi Bani Israil, sejak zaman Nabi Musa AS sampai pada zaman Nabi Dawud AS.
Dikisahkan, di sebuah kampung yang terletak di pinggir Laut Merah, bernama Kampung Ailah, tinggal suatu bangsa keturunan Bani Israil juga. Mereka pun menjalankan syari’at yang menjadikan hari Sabtu semata-mata untuk beribadat saja.
Karena adat dan syari’at yang sudah turun-temurun begitu lama, dimana setiap hari Sabtu tidak seorang juga di antara manusia yang pergi ke ladang untuk membajak, tidak seorang juga pergi ke pasar untuk berjual-beli, serta tak seorang pun pergi ke laut menangkap ikan, maka hal itu telah menyebabkan pula timbulnya sebuah tradisi pada kehidupan ikan yang hidup di dalam laut sekitar desa tersebut.
Tidak begitu jauh dari pantai desa ini, ada dua buah batu besar yang putih warnanya di dalam laut. Saban hari Sabtu, bukan main banyaknya ikan besar yang datang dan bermain-main di antara dua buah batu besar itu. Rupanya ikan-ikan pun sudah mengetahui, bahwa kalau bermain-main di situ pada hari Sabtu, tak akan ada manusia yang menangkap mereka.
Berbeda sekali dengan hari-hari lainnya, tidak ada seekor pun yang berani bermain di tempat itu. Pasalnya, sudah pasti manusia akan menangkapnya untuk dijadikan lauk pauk yang paling lezat. Selain hari Sabtu, setiap hari penduduk desa ini memang selalu pergi ke laut untuk mencari ikan.
Dari hari ke hari, tahun ke tahun, makin banyak saja ikan besar penghuni Laut Merah yang datang pada hari Sabtu ke tempat tersebut. Hal ini akhirnya menerbitkan nafsu jahat bangsa Israil yang tinggal di desa itu. Sifat tamak dan keinginan untuk memakan daging ikan yang besar-besar, menyebabkan mereka lupa kepada ajaran agama yang sekian lama diikutinya.
Ketika nafsu serakah ini tak dapat dibendung lagi, pada suatu hari mereka berkumpul dan bermusyawarah, bertukar pikiran.
“Kenapa setiap hari Sabtu kita biarkan saja ikan-ikan besar sebanyak itu berkeliaran di hadapan kita? Padahal di hari lain, kita mati-matian ke tengah laut yang luas mencari ikan. Bahkan kadang-kadang dengan mengurbankan jiwa kita sendiri. Alangkah baiknya kalau pada hari Sabtu ini, kita tangkap semua ikan yang lalu-lalang di antara dua buah batu itu. Kita pasti akan mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya dengan jalan yang segampang-gampangnya,” kata salah seorang di antara mereka.
Pikiran ini lekas diterima oleh yang lainnya, kecuali beberapa orang saja yang tetap beriman dan tidak sudi melanggar aturan agama.
Demikianlah, akhirnya pada hari Sabtu yang telah ditentukan, penduduk kampung ini bersama-sama menangkap ikan di situ, di antara dua bongkah batu besar berwarna putih, dengan mudah sekali. Dalam waktu sebentar saja hasilnya sudah melimpah-ruah, jauh lebih banyak dibanding hari lainnya yang enam itu. Sudah barang tentu, alangkah senangnya hati mereka.
Sayangnya, karena ketagihan, maka hari Sabtu yang biasanya dijadikan hari khusus untuk beribadah kepada Allah SWT, mereka ubah menjadi hari untuk melupakan Allah, hari beriang gembira, makan-makan besar dengan ikan-ikan yang mereka dapatkan secara sangat mudah. Walhasil, setiap hari Sabtu mereka makan seenak-enaknya dan sebanyak-banyaknya, dengan daging ikan besar yang bermacam-macam pula jenisnya.
Orang-orang beriman yang mengetahui perbuatan ini, mencoba memberikan nasehat, agar jangan melanggar aturan agama. Tetapi jiwa mereka yang telah dikuasai nafsu setan itu tak mempedulikan lagi ajakan ke jalan yang benar. Nasehat apa pun tak masuk lagi ke dalam hati mereka.
Kelompok orang beriman akhirnya mengadakan tindakan kekerasan untuk menginsafkan mereka yang sudah sesat. Dengan kekuatan senjata, mereka berjaga-jaga agar jangan sampai ada seorang juga di antara penduduk yang menangkap ikan pada hari Sabtu.
Tetapi mereka yang ingkar dan sesat secara bersama-sama melakukan protes keras. “Kampung ini bukan kepunyaanmu saja, kami juga turut berhak. Sekarang, kenapa kalian melarang berbuat apa yang kami inginkan di kampung sendiri? Kami merdeka berbuat itu semua, apalagi mencari rezeki yang berupa makanan. Atau kalau kalian tidak suka melihat kami mengerjakan sesuatu untuk keperluan kami, lebih baik kampung ini kita bagi dua saja. Seperduanya untuk kami, dan kami bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendaki. Seperdua lagi untuk kalian, dan bebas pula berbuat apa saja yang kamu kehendaki,” ujar salah seorang tokoh dari golongan orang-orang ingkar.
Untuk menghindarkan perselisihan dan pertumpahan darah, orang-orang beriman akhirnya menyetujui usulan itu. Ya, kampung tersebut dibagi dua!
Kedua golongan di masing-masing kampung, kini bebas untuk berbuat sekehendak hati mereka. Golongan yang sudah sesat, semakin tenggelam dalam keingkarannya. Mereka melupakan Tuhan. Setiap hari bukannya tekun beribadah, melainkan malah berpesta ikan.
Adapun golongan yang beriman saling menasehati di antara sesama mereka, agar jangan meniru-niru perbu¬atan salah dari orang-orang yang sesat, karena hal itu akan berakhir dengan dosa dan siksaan Allah yang sebesar-besarnya. Sementara terhadap kaumnya yang telah sesat dan tak mau mendengar nasehat baik, mereka tak menghiraukannya lagi serta menyerahkan persoalannya kepada Allah Yang Maha Adil.
Tetapi Nabi Dawud AS, sudah tentu tidak membiarkan begitu saja orang yang melanggar perintah Allah. Dia terus-menerus menasehati mereka, agar kembali kepada ajaran nabi dan agamanya. Namun ajakan baik itu malah ditentang, bahkan diejek. Nampaknya mereka sudah semakin sulit untuk diluruskan kembali.
Akhirnya, Nabi Dawud AS pun menyerahkan persoalan mereka kepada Allah SWT. Tidak lupa pula dia senantiasa berdoa, agar Allah SWT memberi pelajaran bagi mereka. Pelajaran yang dapat membuat mereka sadar dan bersedia kembali ke jalan yang benar.
Dari hari ke hari, orang-orang yang ingkar itu rupanya semakin lupa diri dan serakah dalam hidupnya. Mereka melakukan bermacam-macam perbuatan penuh noda dan dosa. Tabiatnya berubah menjadi seperti kera atau beruk, tidak peduli lagi mana halal dan mana haram.
Akhirnya bukan hanya perbuatannya saja yang jelek begitu rupa, tetapi wujud mereka pun ikut berubah bentuk menjadi buruk. Dosa yang terlalu banyak telah merubah fisik mereka menjadi seperti bentuk kera atau beruk.
Pada suatu hari terjadilah gempa besar di desa itu. De¬ngan adanya bencana ini, semua orang beriman ke luar memohon perlindungan Allah SWT. Adapun orang-orang yang sudah sesat itu, masih tetap makan-ma¬kan besar dengan hasil penangkapan ikan mereka di hari Sabtu.
Kemudian datang lagi gempa yang kedua, ketiga dan keempat berturut-turut tidak putus-putusnya, yang sema¬kin hebat dan dahsyat. Bencana alam yang dahsyat ini telah membuat semua orang yang berlumur dosa terpelanting ke dalam laut, tertimpa oleh batu-batu dan rumah yang runtuh. Sedangkan orang-orang yang beriman tetap selamat, berkat perlindungan Allah SWT.
Demikianlah, semoga kisah ringkas yang benar-benar terjadi ini dapat kita jadikan sebagai pelajaran yang berharga. Amiiin…!
Disarikan dari berbagai Kitab Tarih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NYARIS MATI DI TANGAN NYI GEDE GOA SANGIANG (Berburu Harta Karun Jepang)

Perjanjian Gaib dengan Nyai Plencing

RATU ADIL DAN SATRIO PININGIT(Al Mahdi dan Al Barqi)